SAJAK SAJAK TEMUL AMSAL
Temul Amsal Baca Sajak di Taman Ismail Marzuki - Jakarta
lencana
sebuah
kacamata retak
tersangkut
di jendela
selembar
catatan tua
tak
tahu penulisnya
entah
mengapa
tiba
tiba
sebuah
lencana bertukar rupa
keris
dijadikan tiang pencalang
ujungnya
yang tajam mencucuk lancang
serindit
tertunggit
di empat pusaran gelombang
ikan tertusuk dihaluan
lancang
tak berkemudi
kemana
arah
kemana
kiblatnya
kemarau
tanpa musim
menyebar
panas
menebarkan
resah
kemana
angin
kemana
hujannya
rimba
kehilangan
rindang
sialang
kehilangan
batang
kemana gaibnya
kacamata
retak
menetak
senja
siapa
yang punya
---------
Beliung
sejauh batas
perjalanan
dalam
setapak surut
untuk kita
berperang
tanpa keris
dan pedang
mari berkaca
pada bayang
bayang
menutup muka
menengadah
jauh kebelakang
menantang tanpa
bimbang
beliung
mencampakkan
tarah duka
mencencang takuk
bimbang
menengadahkan
mata kemuka
merejam tajam
beliung
menetak
takuknya sendiri
menggantang
nasib yang malang
menggalau
riau yang risau
meniti
hari yang sepi
menakik
mimpi yang pasti
hari
ini
beliung
meliuk mengapak lagi
menyepak duka
dimuka
mencucuk diri
dirambahnya
rimba
digalaunya
riau
disamunnya
pelalawan
dengan putingnya
yang
tajam
dicakarnya
belukar
ditebangnya
batang
batang sialang
tempat
kita berteduh
beliung
mengapak
menyepak lagi
berbagi
duka
di
riau riuh yang sepi
hari ini
------
anak laut
lahir atas gelombang
alangkah tenangnya
dinyanyikan
camar
dibuai
buai badai
alangkah
riangnya
bertahtah di laut dalam riak
alangkah riuhnya
hidup disini
entah berapa lama
menghitung hari
ke lusa lusanya
di
hamparan bebas tanpa batas
di
rantau riau penuh puaka
alangkah indahnya
di laut kami dilahirkan
di semak semak karang
di rimba batu yang dalam
di
sini doa dikabulkan
dari air asal kejadian
dari timbunan tanah tenggelam
dari angin napas ditiupkan
di
atas buih daerah kekuasaan
hidup atas gelombang
alangkah perkasanya
lepas
bagai camar bak elang
terbang
menantang
badai diamuk topan
haram
tak bimbang
anak laut
merajah malam
bintang jadi pedoman
di dataran beku mereka kaku
di hamparan bisu mereka jemu
orang laut
enggan
kepemukiman
--------
Temul Amsal Baca Sajak di Taman Ismail Marzuki - Jakarta
catatan buat rega
lewat suara sebuah
radio tua
anakku
kau lahir saat gerhana
ketika ranting ranting retak
dan
camar mengepakkan sayapnya
nak
kau diazankan
saat pelangi membelah bumi
ketika
guntur menggelegar
dan
bulan bersimbah purnama
nak
kalau kau besar nanti
menapaklah diatas kakimu sendiri
sebab perjuanganmu
masih panjang
untuk negeri ini
di
desa
tempat engkau dilahirkan
di sebuah masjid tua
arah pendakian
makmum
kehilangan syafnya
khatib
dan bilal
kehilangan surah dan suara
imam
kehilangan kiblat
shajaddah
kehilangan
tuannya
tolehlah kebelakang
ladang berpindah kita
dicela
tanah
sejemput
disebut sebut
banjir
datang kita dihadang
laut
punah kita disanggah
seorang penyiar
berpesan
--jangan merusak lingkungan—
tapi
di
halaman pertama
surat
kabar kota
yang
tak
sempat
diterbitkan
terbaca
:
ribuah
hektar hutan
jadi
korban pembakaran
belantara
digundul
bagai
sahara
pemukiman
baru
berdiri
di sana
bangunan
megah
dan
gedung
raksasa
--entah
milik siapa--
dari
ratusan cerobong
panjang
awan
hitam
menggumpal
gumpal
di
atasnya
jelaga tumpah ke jalan jalan
mengotori jejak dan telapak
--entah siapa biangnya--
dari
selokan
yang
sengaja disembunyikan
dalam
liang gundukan tanah
di
halaman bagian belakang
sebuah
perusahaan
jutaan
limbah cair
mengalir
pelan
meracuni
sungai
merenggut
kehidupan
selebihnya
berlepotan
tinta
hitam
semua
tak
dapat ku baca
-----------
bono
bono tiba
panglima
kehilangan tuah
bono datang
dubalang
kehilangan pedang
bono menghantam
singasana
tenggelam
jangan
tambatkan lancang pada tiang
ungkai simpai
cencang penggalang
kita berkuda bono
berdugang atas
pemulang
cepatnya bagai kilat
lajunya bagai bayu
lidah air itu
menjulur julur
bergulung gulung
menjilat tebing
dan beting
menerpa
dengan sunsang arusnya
gaung suaranya bak halilintar
menggeram
menerkam
bak singa lapar
liurnya melambai
bagai badai
dihentak topan
dengan garang ia menerjang
menenggelamkan lancang
dan pencalang
dirambahnya rimba
dicakarnya belukar
digalaunya riau
disamunnya pelalawan
dengan cakarnya
yang
panjang
bono tiba alur
berpindah
bono datang beting
menghadang
berpuluh lancing dan
pencalang
karam tanpa muatan
anak anak
berteriak
serak
dihentak
ombak
saat bulan mengambang
gelombang besar
menghadang
di riau
kami
berkuda bono
berdugang atas
pemulang
timbul tenggelam
dihanyut
pasang
-----------
Temul Amsal Baca Sajak (Melaka - Malaysia)
tun fatimah
entah di teluk mana
engkau
labuhkan perahumu
ketika
layarnya koyak
dan tiangnya retak
dimakan usia
entah di tebing mana
engkau berdiri
menatap mentari
saat senja merona
dari balik ranting ranting rekah
entah di gertak mana
engkau meniti
melangkahkan kaki
melapah hari hari mu
yang sepi
entah di pelantar mana
kau basuh tubuhmu
bersuci diri
memenuhi panggilan ilahi
entah di surau mana
engkau bentangkan sajadah
bersujud
kepangkuan yang esa
entah di rimba mana
engkau
bersembunyi
menyurukkan diri
entah mengapa
ketika suamimu pergi
memenuhi
panggilan ilahi
para pengikutmu
menghilang
satu satu
dan
kota tua itu
bertukar
rupa
jadi
rimba belantara
entah di
busut mana
engkau
bersemedi kini
menanti
putusan ilahi
telah dirintis jalan setapak
telah ditebang rimba sekampung
namun
bayangmu tak tampak jua
kami
kehilangan
selembar
catatan
sepancang
nisan
untuk
mengukir namamu
di sana
--------
sendiri
tak ada
lagi khadi
yang
dapat mengantarkan aku
padamu
duhai kekasih
ketika
kemunafikan
ditegakkan
jadi
pembela
kemungkaran
tak ada
lagi kiyai
tempatku
mengaji
ketika
games dan sorban
dijadikan kebanggaan
lambang
kesucian
tak ada
lagi ulama
tempatku
bertanya
ketika kaji dan syurahnya
meresahkan jiwa
tak ada
lagi imam
selain
imanku sendiri
yang
akan mengantarkan
aku
padamu
ilahi
--------
kiblat
di
masjidil
haram
makmum sholat
berhadap
hadapan dengan imam
menghadap ka’bah
di surau
tempat
rega mengaji
tak
berapa jauh dari rumahku
ketika
waktu sholat tiba
kami
berada dibelakang imam
menghadap kiblat yang sama
di
rumahku
di atas
sajadah
di ujung
malam sepi
aku sendiri kini
diliputi cahaya
tanpa
arah
menghadap
kepadanya
karena
dia
tuhan
yang maha kuasa
lebih
utama
tempatku
bermunajat
sebab
atas namanyalah
ka’bah
dijadikan
kiblat
-------
hening
di
sini
laut
itu hening
jauh
dari segala angin
diam
dari segala sepi
malam
tak berbintang
tak berbulan
dinding
tak berpintu
tak tembus
cahaya
sebuah jung tanpa layar tertimbun Lumpur
sehelai
selimut tanpa sulam
terbentang
tanpa warna
bilik
pertapaan
tanpa
ruang
sunyi
tanpa bayang
tahtah penghabisan
singasana
dan
raja tak bermahkota
ke laut
tak bergelombang
kita
dicampakkan
ke bilik
tanpa ruang
tak tembus cahaya
ke sudut pertapaan penghabisan
diusung
kesana
bila
saat
tiba
---------
-------------