RUMAHKU BAHTERAKU
Menjalani hidup dan kehidupan sebagai seorang yang menyukai kesenian, amatlah berbeda jika dibandingkan dengan kehidupan teman-teman lain yang berada disekelilingku. Ibarat sebuah bahtera yang sama-sama berangkat menuju seberang. Teman-teman ku akan sampai jauh lebih duluan dari aku. Kebanyakan dari mereka telah berlabuh dan menambatkan perahunya di pulau harapan. sedangkan aku, masih saja beberapa hasta dari tempat semula, asik terpengaruh menyaksikan gelombang yang mengalun dengan lembutnya. Kadang-kadang aku berhenti sejenak, memperhatikan para nelayan menangkap ikan. Melihat indahnya pemandangan pulau batu yang melatar belakangi laut dengan awan yang bergumpal-gumpal dilangit biru. Kadang-kadang aku berhari-harian menyaksikan si burung camar yang asyik berebut makanan.
Hal itulah yang selalu membuat aku lupa....melupakan, atau tidak ingat sama sekali untuk cepat-cepat mengakhiri masa lajangku. Ketika suatu hari Kakekku mengatakan bahwa : tak baik bagi seorang lelaki lama-lama membujang. Kata-kata kakekku itu aku rasakan lalu selintas saja, masuk dari telinga kanan dan langsung keluar lagi dari telinga kiri, sejenakpun tak pernah singgah di benakku. Begitu juga pada suatu hari, dalam bus ketika aku dan rombongan program studi Bahasa dan Sastra Indonesia FK. Unri berangkat ke Medan Untuk suatu acara pagelaran, dosenku Idrus Lubis sempat bertanya mengapa aku tak pernah berpacaran sebagaimana teman-temanku yang lain. Malah diantara teman-teman yang hanya melihat sepintas lalu sempat pula beranggapan bahwa aku tak punya naluri sebagai seorang laki-laki. Bagiku semua itu adalah pembicaraan yang tak perlu ditanggapi, makanya aku selalu menjawab semuanya dengan senyum-senyum saja.
Temul dan teman kuliah (PKM Unri 1979)
Bagiku, diam adalah lebih baik.... dari pada memberikan jawaban pada orang yang memang tidak punya pemahaman tentang apa yang akan kita ucapkan. Kejujuran bagi seorang pencinta seni hanya akan menjadikan ejekan bagi kalangan lain yang tidak paham tentang itu. Protes seorang Seniman, bagi orang awam selalu dianggap sebuah kata-kata mutiara atau seloka yang hanya pantas diperdengarkan pada suatu acara hiburan. Seuntai sajak selalu dinilai orang pada keindahan gaya bahasa deklamatornya. Begitu juga dengan lagu, yang banyak dinikmati hanyalah irama musik pengiring dan suara penyanyinya. Padahal sebenarnya, makna hakiki dari penciptaan itu sama sekali tak tersentuh bagi kebanyakan orang yang memang belum paham tentang itu.
Tak siapapun tahu. Kecintaanku dengan mesin tikku lebih dari segala-galanya. Kebutuhanku akan kertas melebihi dari kebutuhanku terhadap makan dan minum. Kebutuhanku untuk mencari ide cerita, jauh lebih penting bagiku dari memikirkan masalah nafsu, perempuan, uang, jabatan dan sebagainya. Bagiku, mesin ketik, kertas dan ide cerita. merupakan kenikmatan anugerah Tuhan yang tiada duanya. Bagiku tidak tidur bermalam-malaman jauh lebih menyenangkan, ketimbang berbaring dikasur empuk, tidur mendengkur dalam kedinginan AC menjelang pagi. Bagiku membuat sebuah naskah, jauh lebih berarti dari berdiskusi sepanjang hari untuk membicarakan tema yang tak kunjung disepakati. Sebuah gubuk reot, agaknya jauh lebih banyak mendatangkan inspirasi dari tinggal di gedung mewah dengan fasilitasnya yang sudah tersedia.
selepas pagelaran Bengkel Teater "Seri Rama" 1978
Selain dari itu semua. Mencari pasangan hidup bagi seorang pencinta seni agaknya memang agak sulit. Siapa perempuan yang mau dengan seorang lelaki amat teliti terhadap baris dan huruf ketikannya, sebaliknya tubuhnya tak pernah dia urus, malah tak diperhatikan sama sekali. Siapa wanita yang ingin dengan seorang lelaki yang terlalu teliti terhadap warna dan kwalitas cat yang dibelinya, sebaliknya warna dan kwalitas pakaiannya tak pernah diperhatikannya. gadis mana pula yang mau mendekati seorang bujang lebih mencintai mesin ketik dari dirinya. malah kedatangannyapun dianggap mengganggu (menghilangkan inspirasinya). Perawan mana pula yang mau nikah dengan seorang perjaka yang apabila keluar rumah pada sore hari, tau-tau pulangnya waktu azan subuh.
Ternyata Tuhan tidak berkehendak begitu. setiap makhluknya di dunia ini ia ciptakan berpasang-pasangan. Pada pertengahan tahun 1984, aku dipertemukan dengan seorang gadis yang kuliah di Fisipol Unri jurusan Ilmu Pemerintahan. Setelah penyesuaian diri lebih kurang 5 tahun, kemudian menikah. Suatu acara pernikahan meriah yang jarang dilakukan orang. Waktu itu aku turun dari rumah kediaman pamanku di Bukit Tebuk Tanjung Batu Kundur, sedangkan calon isteriku menunggu di rumah orangtuanya di Alai Ungar (sebuah pulau yang jaraknya setegah jam menaiki pompong). Iring-iringan pengantin (aku) waktu itu memakai 2 buah kapal motor, dalam dua priode. Kamis malam dilaksanakan arak-arakkan membawa hantaran dan akat nikah, kemudian pada hari Sabtu dilaksanakan lagi arak-arakan mengiring pengantin ketempat persandingan. Sungguh suatu hal yang tak pernah terbayangkan dari semula.
foto kenangan 1989
Ternyata apa yang aku anggap selama ini adalah suatu kesalahan. Setelah aku beristeri, semuanya menjadi lebih baik. Aku sibuk dengan tugasku semula, sementara diriku adapula yang memperhatikan. Sejak itu bahteraku semakin melaju kedepan. Semua semak samun yang selama ini menggeluti kehidupanku dibersihkan oleh Noi...(demikian panggilanku pada isteriku tercinta). Makan minumku sudah teratur, pakaianku sudah mulai rapi, dalam menulispun kadang-kadang aku mendapat masukkan darinya. Dia mengerti apa yang aku ingini dan akupun memahami apa yang dia kehendaki. Beginilah Tuhan berkehendak. Aku adalah anak tertua dari lima bersaudara, sedangkan Norazizah isteriku merupakan anak bungsu dari lima bersaudara pula. Tak pernah terjadi pertengkaran, karena aku sudah banyak pengalaman terhadap empat orang adikku, isteriku pula berpengalaman dengan ke empat orang kakak dan abangnya.
Anak kami seorang lelaki, Said Rega Syahringga lahir 28 Nopember 1989. Dari kecilnya punya kegemaran bermain bola. Namun tanpa ku duga setelah ia kuliah di Jakarta ( Inter Studi . Jurusan Brocasting ), atas kemauannya sendiri dia masuk sanggar "Semenanjung" , yaitu sanggar seni yang anggotanya terdiri dari mahasiswa Riau yang kuliah di Jakarta. Sampai saat ini Rega masih aktif di sanggar tersebut dan menukangi seni teater.
Said Rega Syahringga dkk - Jakarta 2012
Said Rega Syahringga dan kawan-kawan - Jakarta 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar