BUDAK SENI
YANG SENANTIASA RESAH
Catatan : S.M. Asseggaf (Maret 2006)
MULAI
MENJEJAKKAN TELAPAK
KEDUNIA SENI

Di pentas itu ada beberapa lelaki dewasa sedang asik ‘terenen’.
Mereka mondar mandir sambil melakukan
gerak-gerak tertentu, berdialog dengan melontarkan suara yang lantang. Hampir seluruh
ucapan dalam dialog itu menggunakan kata-kata indah. Tindakan dan perbuatan
semacam ini persis seperti apa yang
tertera dalam cerita-cerita sejarah kerajaan tempo dulu yang selalu diceritakan
neneknya menjelang tidur. Begitu bersahaja indah, mempesona dan amat
mengasikkan.
Anak laki-laki tadi menyaksikan semua kejadian itu. Ia
melihat perbedaan sikap, gerak gerik dan mimik yang diperankan oleh
masing-masing pemain yang terdiri dari orang-orang dewasa. Ia mendengar nada
dan irama yang berbeda dari pengucapan masing-masing sang tokoh. Mudah
dimengerti. Begitu menarik. O…Betapa
indahnya.
Karena ingin memiliki rasa keindahan itu tadi, anak lelaki
tersebut menceritakan, kemudian membawa beberapa temannya menyaksikan apa yang
telah dilihatnya. Ternyata teman-temannya merasa tertarik. Tanpa diberi tugas,
mereka memperhatikan secermat mungkin peristiwa yang berlangsung di
hadapannya. Alhasil dari pengamatan itu akhirnya mereka mampu mengingat setiap
gerakan dan menghapal setiap dialog yang didengarnya.
Dengan penuh keyakinan disertai iktikat dan semangat yang
kuat, melalui ‘kursus tanpa guru’ itu tadi, mereka menggabungkan diri
dan membuat sebuah grup “sandiwara”.
tugu dengan latar pentas drama di desa Pelalawan (Ry. foto 1965)
Hampir setiap sore, sepulangnya dari menyaksikan latihan
berpentas orang-orang dewasa itu, anak anak
tadi mengadakan latihan
pula di bawah pohon 'niur puyuh' yang tegak tak
seberapa jauh dari pentas itu.
Saking asiknya latihan, anak-anak
tersebut selalu lupa waktu dan sering pulang terlambat. Akibatnya mereka
mendapat teguran dari orangtuanya masing-masing.
Setelah merasa cukup mahir, tanpa melontarkan pengumuman
dan surat undangan lelaki-lelaki kecil tadi mengadakan pagelaran.
Beberapa kerangka kayu ditegakkan, di tutupi dengan
beberapa helai kain sarung yang mereka bawa dari rumahnya masing-masing.
Jadilah sebuah pentas mungil. Pentas itu berada di sebelah hilir desa, tak jauh
dari bangunan bekas istana sultan Pelalawan yang pada waktu itu masih dihuni
oleh keluarga kerajaan. Sebagai alat penerangan, anak-anak tadi memotong
beberapa ruas bambu. Potongan-potongan bambu tersebut diisinya dengan minyak
tanah dan diberi bersumbu tali goni, kemudian dari ujung sumbu itulah mereka
menyalakan api.
Lahirnya grup sandiwara
anak-anak ini amat menggembirakan banyak orang. Kenapa tidak. Pertama
orang-orang kampung di sana waktu itu memang haus akan hiburan. Sedangkan grup
sandiwara orang dewasa hanya main pada waktu-waktu tertentu saja, seperti pada
perayaan menyambut hari ulang tahun Kemerdekaan Republik Indonesia atau pada hari-hari yang telah ditetapkan seperti sehabis musim panen, sedangkan grup anak-anak tersebut bermain tak kenal
waktu (boleh dikatakan hampir setiap malam mereka mengadakan pergelaran).
Sedangkan di Pelalawan masa itu usahkan televisi, orang yang memiliki radio
saja dapat dihitung dengan jari jumlahnya.
Grup sandiwara anak-anak ini selalu menjadi buah bibir
mereka yang pernah melihatnya. Dengan cepat khabar berita itu tersiar dari hilir sampai kehulu kampung. Kehadiram mereka lebih cepat dikenal, apalagi anak-anak yang
bergabung dalam grup itu umumnya generasi penerus yang ayahnya adalah pemain
drama, pemusik dan pelawak yang sudah tak asing lagi bagi orang-orang di sana.
Pementasan grup anak-anak ini setiap malamnya selalu
berhasil dengan memuaskan. Entah daya tarik apa yang dapat memukau penontonnya
tidaklah begitu penting, yang pasti malam demi malam jumlah penonton yang
menyaksikan pagelaran mereka semakin ramai saja. Walaupun berpentaskan kain,
berlampu obor, bermake-up ‘arang jelaga’ dengan property seadanya dan
yang dipentaskan cerita itu ke itu juga,
orang-orang kampung tak bosan-bosan me nontonnya.
Bagi anak kecil tadi timbul juga rasa cemas didalam
hatinya. Mengapa ia dan teman-temannya harus memainkan lakon itu ke itu juga.
Padahal perbuatan semacam itu lambat laun pasti mendatangkan kejenuhan bagi
yang melihatnya. Akibatnya tentu mereka akan ditinggalkan oleh penontonnya.
Namun perasaan itu harus dipendamnya sendiri. Ia masih terlalu kecil. Belum
mampu berbuat sesuatu yang lebih baik untuk menghibur dan memberikan
kepuasan kepada masyarakat sekitarnya.
Tapi nanti setelah
dewasa ia terus berusaha dan
berusaha meningkatkan kreativitasnya. Di bidang teater ia seorang aktor,
penulis naskah dan sutradara. Dia juga penulis
sajak, dan deklamator. Dia gemar
melukis, membuat relief dan kaligrafi. Dia seorang seniman yang cukup
diperhitungkan.
Dibidang kesenian ia begitu disegani, karena ia memiliki
beberapa keahlian yang jarang ditemui pada seniman lainnya. Dalam kehidupan sehari-hari kelihatan ia
begitu resah menggeluti darah seni yang merambah disekujur tubuhnya itu.
Siapakah dia….? Dia
adalah Temul Amsal,
seorang penulis, teaterawan, penyair, pelukis dan pemerhati seni dan budaya dari Riau.
MASA KANAK – KANAK DI KAMPUNG HALAMAN
Desa Pelalawan adalah sebuah desa tua,
bekas ibukota sebuah kerajaan . Di desa inilah bermukimnya para pembesar kerajaan
Pelalawan tempo dulu. Sekarang Desa ini merupakan Ibukota kecamatan Pelalawan
dari Kabupaten Pelalawan di Provinsi Riau. Dari desa inilah mula berkembangnya
berbagai macam corak seni budaya yang akhirnya menyebar ke daerah-daerah
sekitarnya.
Beberapa bentuk teater yang terdapat di Pelalawan antara
lain : tonel, bangsawan, drama klasik, lawak, dan teater tutur. Sedangkan seni
tari adalah: zapin, joget dan tari
tradisi yang sering dipergunakan dalam upacara pengobatan; jenis puisi adalah
mantera dan nyanyi panjang. Di desa ini juga berkembang beberapa jenis
permainan rakyat, diantaranya: bergasing, kedao, pencak silat, lukah gilo dan
sebagainya. Disamping itu juga terdapat berbagai jenis seni rupa yang berbentuk
kerajinan anyaman dan ukiran.
Di desa
inilah Temul Amsal dilahirkan, tepatnya pada tanggal 31 Juli 1954. Ia berdarah
bangsawan. Nama aslinya Tengku Said Mulya Amril Assaggaf. Lahir dalam
lingkungan keluarga bangsawan, “menjerang air hangat” moyangnya, Tengku
Said Haroen (Sultan terakhir Kerajaan Pelalawan).
‘Menjerang air hangat’ merupakan salah
satu tradisi bagi masyarakat setempat, khususnya keturunan bangsawan di daerah
itu. Setiap anak yang baru lahir, sebelum di azan / diqamadkan, anak tersebut
terlebih dahulu haruslah dibersihkan yakni memandikannya dengan air yang
sedikit panas. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, siapa yang “menjerang
air hangat” untuk mandi pertama, bagi bayi yang baru lahir dari
kandungan ibunya, niscaya sikap dan prilaku orang itulah yang akan berpindah
kepada anak tersebut. (menjerang air hangat ini dilakukan dengan
mencolokkan puntung api yang sedang membara kedalam air yang sudah mendidih).
Ayahnya
bernama Tengku Said Aman Saleh, Ibunya adalah Tengku Syarifah Hidayatul Akmal.
Aman Saleh ini adalah seorang pemain drama dan pelawak yang cukup dikenal di
desanya. Karena kelucuannya dalam membawakan berbagai peran, sehingga ia
dipanggil orang dengan gelar “Cik Abu” (singkatan dari Abu Nawas)
, yakni seorang tokoh lucu dari negeri seribu satu malam yang cukup dikenal.
Terpengaruh
karena sering menonton sang ayah ‘trenen’ (sebutan untuk latihan drama pada
waktu itu), sejak kecil Temul sudah berani melakukan pagelaran bersama-sama
teman kecil nya yaitu; Jumen, Fakhri, Khatib Amil, Gendang, Khairul, Alwie,
Latib, Khalil dan Syamsur Anwar.
"Rumah Besar" Rumah Tengku Said Saleh (jaksa kerapatan kerajaan pelalawan)
di rumah inilah Temul Amsal dibesarkan
Pagelaran hampir setiap malam, yakni dilakukan disebuah
pentas terbuka dipinggir jalan umum ( lokasi selalu berobah-robah). Pentas
dibuat dengan menancapkan beberapa batang kayu kecil sebagai penopang dinding yang dibuat dari beberapa helai
kain batik. Guna menerangi penonton dan pemain, dibuat beberapa batang obor
dari bambu. Cerita yang dipentaskan selalu cerita yang bertemakan kerajaan dan
sejarah perjuangan (yang didapat dari menonton orang dewasa latihan drama). Busana direka sendiri-sendiri dari pakaian sendiri dan
diusahakan sesuai dengan peran. Make-up, ‘arang jelaga’ yang dicampur
sedikit minyak kelapa dan bedak. Dekorasi, daun-daunan yang diambil dari
semak-belukar disekitarnya. Properti yang dipakai biasanya berupa tiruan
senjata tajam dari kayu yang dibuat sendiri (waktu itu yang ahli dalam hal ini adalah Khalil dan Syamsur
Anwar).
Karena
kasihan melihat grup anak-anak ini mentas di tepi jalan, Tuk Wak (seorang
paman yang tidak mempunyai anak) menghadiahkan sebuah lampu petromak,
beberapa waktu kemudian memindahkan pentas anak-anak ini kerumah beliau.
Tetapi Temul dan kawan-kawannya tak merasa betah setelah beberapa malam bermain
di rumah tersebut, karena tidak ada penonton, akhirnya mereka kembali kepinggir
jalan. Beberapa waktu kemudian gangguan datang lagi. Kali ini ‘Pak Camat’,
Tengku Said Jaafar Muhammad (seorang paman yang sering menjadi penata
pentas gerup orang dewasa) memindahkan pentas jalanan ini kerumah beliau
yang terletak di ujung kampung sebelah hilir desa Pelalawan. Dirumah tersebut
telah dibuatkan pentas dari kain, disediakan minuman dan makanan ringan (karena
kehidupan ekonominya memang sudah mapan), namun kesenangan jiwa
belumlah didapat. Pemisahan antara pemain dengan penontonnya (yakni masyarakat
penikmat) merupakan tekanan batin yang berat bagi anak-anak tersebut. Oleh
sebab itu Temul dan teman-temannya kembali turun ke jalan. Kali ini pementasan
yang disuguhkan lebih seru, sebab beberapa malam mentas di rumah T.S.Jaafar.M
itu anak-anak tersebut mendapat
pengalaman baru, karena disana mereka diajarkan beberapa cerita baru, yang
digubah Tengku Khalil, berdasarkan pengalamannya dari nonton film di Pekanbaru.
MEMULAI KREATIVITAS DI ALAM YANG BARU
Keadaan
ini tak berlangsung lama. Hapusnya Kewidanaan Pelalawan, membuat kota tua
bekas ibukota kerajaan itu tak punya wibawa sama sekali. Tinggallah Pelalawan
jadi sebuah desa kecil dibawah naungan Kecamatan Bunut yang ibukotanya
Pangkalan Bunut. Keturunan Bangsawan yang sebahagian besar bekerja sebagai
pegawai negeri terpaksa pindah mening galkan desa kelahiran mereka. Tak ketinggalan
pula Temul. Pada pertengahan 1967 Ia mengikuti ayahnya yang pegawai negeri itu
pindah ke Pekanbaru. Ketika ibukota Kabupaten Kampar dipindahkan dari Pekanbaru ke Bangkinang,
beliau juga ikut orangtuanya kesana. Ia melanjutkan pendidikannya kembali (
kelas 4 ) di Sekolah Dasar Negeri Nomor 2 Bangkinang.
Selama
di Bangkinang kebingungan merona diwajah Temul. Ia tak bisa berbuat apa-apa
karena memang betul-betul tak punya teman yang sehoby dengannya. Di SD ia duduk
berdekat an dengan Israr. Teman sebangkunya ini suka menggambar, Israr adalah
anak seorang pelukis. Keindahan gambar yang dibuat Israr ini begitu menarik
perhatian Temul. Pada waktu-waktu senggang di sekolahnya, Temul dan Israr selalu
membuat gambar bersama-sama. Gambar yang dibuat kedua sahabat ini selalu
menarik perhatian guru mereka. Pernah suatu hari kedua anak ini dibelikan
pensil warna oleh gurunya.
Bagi
Temul, cerita lukis melukis ini memang sudah sering menjadi pembicaraan
diantara keluarganya, karena dua orang famili terdekatnya yakni Tenas Effendy
dan Dey Nazir Alwi adalah dua orang pelukis yang sudah dikenal. Sesekali pada
waktu senggang, apabila Temul datang berkunjung kerumah mereka, temul selalu
terpesona menatap lembutnya tarikan kuas kedua pelukis itu.
Ketika
ia sudah meningkat dewasa, Dey Nazir Alwy pernah menawarkan agar Temul
sering-sering datang kerumahnya untuk belajar melukis, sebab disana semua bahan
tersedia termasuk cat minyak dan kanvas yang harganya terbilang mahal waktu
itu. Tetapi karena sikap pendiamnya, ia
merasa malu bertandang kerumah familinya itu. Sebaliknya Temul memilih untuk belajar melukis sendiri secara
alami bersama Ahmad Rosman teman sebayanya yang sama sekolah dan tinggal berdekatan rumah. Temannya ini punya
kegemaran melukis, ia magang di sebuah studio lukisan “ Muzeno “ di
pasar Bangkinang. Selepas belajar di sekolah, Temul dan Rosman menghabiskan
waktunya untuk belajar melukis bersama-sama di stadion sepak bola “Yani Sakti
134” yang kini bernama ‘Stadion Tuanku Tambusai’, tak jauh dari rumah mereka.
Tapi belajar tanpa guru begitu, memang amat
menyakitkan. Berbulan - bulan mereka menyita waktunya, menghabiskan
berpuluh-puluh kaleng cat dan kanvas, tetap saja tidak menghasilkan apa-apa. M.
Noor (seorang teman sebayanya yang pandai
melukis waktu itu) selalu datang meninjau kegiatan mereka, tetapi terlalu
sulit untuk berbagi pengalaman. Namun Temul tak pernah merasa putus asa.
Selesai menamatkan pendidikan di Sekolah Dasar, Temul
bermaksud melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Tekhnik. Sayangnya Sekolah
tersebut tidak ada di Bangkinang. Untuk hijrah ke kota lain, terus terang orang
tuanya tak mampu, maklum gaji seorang pegawai negeri golongan dua waktu itu tak
cukup untuk makan sebulan, apalagi untuk menyekolahkan anak ke tempat yang agak
jauh. Akhirnya atas dasar berbagai pertimbangan dan nasehat pamannya T.Said
Jaafar.M (yang sudah jadi ketua DPRD waktu itu) anak muda ini dengan berat hati terpaksa merelakan dirinya masuk
Sekolah Menengah Ekonomi Pertama. Selama sekolah di sini Ia terus menekuni
hobinya melukis. Masa itu ia berteman
dengan Faidul dan Yapizam yang datang dari Tembilahan. Kedua temannya ini punya
kegemaran, melukis ulang gambar-gambar yang terdapat di berbagai majalah dengan
cat air.
Bakat melukis anak muda ini baru betul-betul
tampak ketika ia tinggal disebuah gubuk sewaan, menemani T. Nazirun (pamannya
yang bekerja sebagai seorang guru SD). Pamannya ini punya kegemaran
melukis potret dengan konte. Melukis potret diatas kertas dengan mempergunakan
‘pensil hitam spesial’ ini begitu mengasikkan. Keasikkan Temul melukis potret
sambil menimba pengalaman dari pamannya itu,
membuat ia berhasil menemui titik-titik kelemahnya selama ini. Melalui
coretan contenya, anak muda ini akhirnya mampu menciptakan ‘aliran darah’ pada
raut wajah potret-potret yang dilukisnya. Dengan itu Ia merasa puas dan
bertekat untuk terus memperdalam karya lukisanya.
Setelah
menamatkan pendidikan di SMEP, Temul seolah-olah mengayuh sebuah perahu yang tak
berkemudi. Untuk meneruskan sekolah pada jurusan ekonomi yang lebih tinggi,
terus terang ia tak punya bakat untuk itu. Walaupun di sekolahnya dulu ia
pandai Tata Buku dan Hitungan Dagang, namun ia lebih
menggemari mata pelajaran Mengetik
dan Stenografi. Temul memang cekatan
menulis steno. Dalam usianya yang begitu muda ia sudah mampu menyaingi seorang
jurnalistik. Untuk mencatat percakapan, usahkan pidato, orang berbual-bualpun
mampu ia catat dengan cepat tanpa meninggalkan satu katapun.
Temul Amsal bersama pelawak Indonesia S.Bagio - Jakarta 1984
Pada
waktu itu Temul berkelana kemana ia suka. Pernah bekerja balak, kadang-kadang
berbulan-bulan ia mengikuti Teater Keliling, pergelaran ke berbagai kota. Suatu
ketika saat ia kembali kerumah orangtuanya, oleh Pamannya T. Said Hamid ia
dimasukkan ke Sekolah Menengah Atas Negeri 307 Bangkinang. Untung saja Temul mampu menempatkan
dirinya sederajat dengan teman-teman sekelasnya, padahal ia sudah ketinggalan
mengikuti pelajaran beberapa bulan.
Walau
sebagai anak baru, di sekolah itu Temul lebih cepat dikenal. Dia memang anak
pendiam, prestasi belajarnyapun sedang-sedang saja, tapi dia punya beberapa
keahlian yang jarang dimiliki oleh siswa lainnya. Karena itu tak heran kalau
Temul selalu mendapat perhatian ektsra dari guru-gurunya.
Selaku
Sekretaris Osis, Ia mampu bekerja sama dan membimbing rekan-rekan sekolahnya
dengan tekun. Dalam pergaulan sehari- hari ia tak pernah menyombongkan diri,
sebab itu semua siswa dan guru-guru suka padanya.
Di
sekolah itu, disamping belajar, Temul senantiasa menyibukkan dirinya dengan
Dunia Seni yang pernah ia geluti, dia suka membimbing rekan-rekannya, terutama
dibidang seni rupa, deklamasi dan bermain drama. Pada waktu-waktu senggang
teman-temannya selalu meminta nya untuk menggoreskan beberapa ungkapan dan
kata-kata mutiara serta sketsa ‘karikatur & penyet’ pada notes pribadi
mereka.
Temul
bukan saja akrap dengan teman-teman sekelasnya, namun ia dikenal oleh hampir
semua siswa, baik laki-laki mapun perempuan sejak dari kelas satu sampai kelas
tiga, mulai jurusan IPS sampai IPA. Hanya sayangnya anak muda yang satu ini,
kalau ditanya tak pernah tau nama teman-temannya.
KEMBALI BERGELUT DI DUNIA TEATER
Temul
yang sejak masih ingusan di kampung halamannya dulu sudah memulai karir
dibidang teater begitu kebingungan. Di Bangkinang ia tak punya seorangpun
teman yang sehoby dengannya. Masa-masa sepi itu dilaluinya sampai tamat Sekolah
Dasar.
Pertemuannya
dengan Tengku Syamsu 'Essa Putra Assaggaf' (pamannya yang penulis naskah drama dan jadi
Kepala Seksi Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Kampar),
serta datangnya Tengku Kasrun, Zuraida dan beberapa orang guru SD yang hobby
bermain drama (melanjutkan pendidikan di KPG) Bang kinang, seperti :
T.M.Tahar, T. Syirwan Jais, Azli dan Wan Warni menggerakkan kembali darah
teater yang mengaliri urat nadi Temul yang selama ini hampir membeku. Secara
perlahan-lahan ia berusaha menyatukan diri dengan seniornya itu.
Temul Amsal & Ubaidillah dalam lakon 'Nutung Kembar (1978)
Mula-mula
oleh pamannya, Temul hanya diserahkan sebuah kunci, dengan begitu berarti anak
muda ini harus bertanggung jawab untuk membuka dan menutup ruang latihan setiap
sore. Tugas ini sebetulnya cukup membosankan, tapi bagi Temul tidak. Ia merasa
lebih beruntung. Sebab dengan membuka dan menutup ruangan latihan, berarti ia
harus hadir disana selama orang latihan. Dengan itu ia punya kesempatan untuk melihat seniornya itu
melakukan latihan, dengan begitu ia lebih mudah menimba pengalaman. Celakanya diantara enam orang
pemain, yang rajin datang cepat hanya dua atau tiga orang saja. Selebihnya
tugas anak muda inilah untuk memberitahu dan menjemput mereka kerumahnya
masing-masing.
Menjemput
para pelaku untuk melaksanakan latihan bukanlah suatu perkara yang mudah.
Kendaraan yang ada pada waktu itu hanya sepeda (itupun milik orang-orang
tertentu saja). Temul tak pandai mengendarai sepeda. Jadi untuk menjemput
masing-masing pemain Temul terpaksa menggiring sepeda tersebut dengan berjalan
kaki. Setelah sampai ketempat tujuan yang jaraknya beberapa kilo meter, barulah
Temul dibonceng kembali ketempat latihan oleh orang yang dijemputnya tadi.
Pekerjaan
semacam itu sebenarnya lama-kelamaan terasa berat dan amat menjengkelkan, tapi
untunglah pada malam pagelarannya Temul dipercayakan untuk menata pentas.
Dengan demikian rasa jengkel itu sedikit terobati. Pada hal tugas menata pentas
waktu itu lebih berat lagi. Sebab
segala peralatan yang diperlukan, termasuk property harus disiapkan dan dikerjakan sendiri, tanpa uang lelah sepeser pun. Tapi bagi anak muda ini, hal yang begitu dianggapnya lebih banyak
memberi keuntungan. Dengan dibebani tugas menata pentas berarti ia diberi
kesempatan untuk ikut berkreatifitas dalam pementasan tersebut.
Pada
suatu ketika, karena kekurangan pemain, Temul dibawa ikut menjadi figuran. Ini
merupakan kesempatan yang tak mau ia sia-siakan. Ia begitu tekun berlatih
sendiri di depan cermin. Baginya walaupun peran yang akan dibawakannya begitu
ringan, tapi tak boleh diringan-ringankan. Seringan apapun peran yang akan
dibawakannya diatas pentas, tetap akan diperhatikan dan ditonton orang.
Setapak
demi setapak ia terus melangkah kedepan. Anak muda ini tak pernah memilih peran
apa yang semestinya ia lakonkan. Diajak manggung saja ia sudah sangat gembira,
walaupun jadi figuran atau pemeran pembantu.
Setiap hari ia
selalu resah menanti jam latihan .
sepertinya ia tak sabar menunggu wak tu. Hari-harinya tampak ceria. Semua yang ia lakukan adalah
pengalaman baginya. Dia percaya tanpa pengalaman niscaya ia tidak akan mampu
berbuat sesuatu yang lebih baik dikemudian hari.
Dari figuran itulah dasarnya berpijak, akhirnya ia
menjadi pemeran pembantu; tokoh pendamping dan pelaku utama. Pengalaman
merupakan guru terbaik yang diperoleh anak muda ini dalam meniti jenjang
karirnya.
Untuk menimba ilmu Temul lebih sering
bertanya kepada seniornya. Dia juga sering mem baca buku. Buku adalah guru yang
tak pandai berbicara, tetapi mampu menerangkan segala ilmu dengan benar.
Berbagai pengalaman yang dipadukannya dengan membaca buku, membuat ia lebih lincah dan leluasa
bergerak.
Suatu sukap
buruk yang ia miliki adalah perasaan tak pernah puas terhadap apa yang sudah ia
kerjakan. Tetapi sikap buruk itu pula yang membuat ia lebih maju selangkah dari
teman-temannya, sehingga ia lebih
dikenal.
Sikap tidak
pernah puas yang ia miliki itu, membuat ia senantiasa mencari dan mencari. Ia
sering tak dapat tidur bermalam-malaman karena hanya memikirkan satu adegan
drama yang ia lakonkan, padahal ia bukan
menjadi pemeran utama dalam pementasan itu.
Ia punya rasa kecemburuan yang tinggi terhadap
kepintaran orang lain. Karena itu tak heran kalau ia memiliki keterampilan
melebihi teman-teman yang se-angkatan dengannya. Sehingga dalam perjalanan karirnya
nanti, pemuda yang senantiasa resah ini, memiliki keterampilan kompleks yang jarang dipunyai oleh setiap Seniman.
Selaku teaterawan (dia seorang aktor, penulis naskah, penata pentas, penata lampu, sutradara
dan pemimpin sanggar teater). Selaku penyair (dia seorang penulis sajak,
penyiar & pemain sandiwara radio dan deklamator); selaku Seniman Seni Rupa (dia seorang pelukis,
pembuat relief dan pemahat). Temul Amsal juga seorang fotografer dan
kameramen.
Di sekolah ia selalu menjadi buah
bibir teman-teman. Semua guru mengenalnya. Pendek kata Temul-lah yang sering dijadikan
benteng pertahanan untuk mengangkat nama sekolah itu dalam berbagai
pertandingan yang berbau seni.
Faktor
ekonomi yang morat-maritlah yang selalu menjadi hambatan utama bagi pemuda ini
dalam meniti karirnya. Tetapi ia selalu teguh dan tegar menghadapi cobaan itu.
Modal hidupnya hari kehari bergantung pada keterampilan yang ia miliki. Tahun
1977 ia hidjrah ke Pekanbaru, kuliah di Universitas Riau, FK Jurusan Bahasa dan
Sastra Indonesia (dengan nomor mahasiswa 1233).
Di kota ini
ia tinggal menompang di rumah Tengku Ilyas familinya yang bekerja di Riau Hotel. Biaya kuliah tak perlu
dipikirkannya. Ayahnya adalah bekas Pejuang Kemerdekaan, karena pada waktu itu
bagi anak-anak veteran pejuang kemerdekaan RI tak dikenakan biaya. Baru
beberapa hari mengikuti POSMA (Pekan Orientasi Mahasiswa), ia sudah
dikenal baik oleh lingkungan almamaternya. Malah sewaktu perkuliahan dimulai, oleh beberapa Dosen ia diusulkan untuk
mendapat beasiswa Supersemar. Beasiswa tersebut diperolehnya sampai ia
menamatkan kuliah di Perguruan Tinggi itu.
Di kampus Unri
temul dan teman-temannya mendirikan 'Sanggar Sastra'. 'Sanggar sastra' inilah yang
dijadikannya dasar berpijak untuk mengadakan pagelaran ke hampir semua kota di
Perovinsi Riau. Dari pementasan tersebut diperoleh umpan balik, pada tahun-tahun
berikutnya calon mahasiswa yang mendaftar di FK Bahasa dan Sastra Indonesia
membludak. Program studinya beberapa tahun kemudian jadi faforit di lingkungan
almamater dan cukup dikenal oleh masyarakat sekitarnya, malah kegiatan
‘Praktikum Sastra’ di kampus itu tercatat sampai ke Laidend Belanda.
Temul Amsal, Iskandar Alamsyah, Mislien Asmiarti,dan Nelly
dalam lakon 'Gerhana di Indrapura' (1980)
Di luar kampus, sekitar
pertengahan 1977, Temul membentuk sanggar teater ‘GEMA’. Disamping memimpin grup
teater favoritnya itu, ia juga memimpin bengkel teater Dinas P dan K Kotamadya
Pekanbaru (Sekitar tahun 1979 sampai 1984), Temul kelihatan semakin
menyibukkan dirinya di dunia teater,
ia mengajar seni
peran di beberapa sekolah menengah di kota itu.
Perkuliahannya selalu tersendat-sendat akhibat
pergelutannya dengan cabang seni yang dicintainya ini, karena itu tak salah
kalau Ibrahim Sattah menyebut Temul dengan sebutan ‘Teaterawan Riau’ ,waktu memperkenalkan anak muda ini dengan ‘Presiden Penyair
Indonesia’ Sutarji Chazoum Bahri, di Gedung Olah Seni Tangkerang
Pekanbaru.(1981).
Berkat pengalaman selama melatih teater diberbagai tempat,
ia menjadi lebih ahli dalam permainan ini. Dalam beberapa tahun saja ia telah
memainkan puluhan naskah yang didapat nya dari teman-teman, maupun dari bank
naskah Bidang Kesenian Tk.I Riau (Sayang…Bidang Kesenian Riau tak
banyak mengoleksi naskah-naskah teater). Kekurangan naskah tersebut memaksa
temul harus membuat naskah sendiri. Untung baginya menulis naskah bukanlah
suatu pengalaman baru, karena sewaktu di bangku Sekolah Lanjutan Pertama
dulu ia sudah mulai menulis naskah
untuk keperluan pementasan disana. Dalam menulis naskah Temul juga terkenal
gigih. Bukan hanya disegi cerita, pesan tersembunyi yang hendak disampaikan dan
bahasa yang diungkapkannya. Anak muda
ini lebih sering memperbanyak naskah dengan tulisan tangannya sendiri untuk masing-masing pelaku, karena susahnya mendapatkan mesin
ketik waktu itu. Pendek kata keuletannya dalam membidangi teater yang sudah
menjadi hobbinya itu sulit dicari duanya.
Keyakinannya pada diri sendiri begitu kuat. Sikapnya dalam
berkarya begitu teguh. Apa yang sudah tergambar di hati sanubarinya, cepat-cepat
ia tuangkan kedalam tulisan agar sesegera mungkin dapat diketahui oleh orang
banyak. Walaupun sikapnya pendiam, tapi ia tak banyak membuat pertimbangan.
Baginya apa yang ia kerjakan sekarang itulah yang terbaik untuk hari ini.
Bagi Temul, ia adalah
seorang pekerja seni. Tugasnya menciptakan sesuatu, buruk atau baiknya ciptaan
tersebut terserah atas penilaian orang
lain. Karena itu tak hayal lagi 75 %
dari karya pentas yang dipagelarkan oleh Temul Amsal adalah hasil buah tangannya sendiri. (dari
1970 sampai 1999 tercatat, temul mentas lebih dari 60 kali).
Temul tahan
bermalam-malaman duduk membungkuk di meja tulis, menulis naskah dite ngah
keremangan cahaya lampu teplok yang
senantiasa kekurangan minyak. Keunikan dan ketekunannya ini secara langsung
memberikan dampak positif terhadap karya-karyanya.
Karena asik
menulis naskah, Temul menjadi kurang tidur, malam-malamnya ia habiskan dengan
menulis naskah.
Pertemuannya
dengan Edi Basrul Intan dan Rismandijanto Sutrisno (dua orang penyiar /
seniman angkasawan RRI Pekanbaru) sekitar 1980, membuka peluang yang lebih
luas lagi bagi anak muda ini untuk mempublikasikan karya-karyanya guna
disiarkan di RRI Stasiun Pekan baru.
Sejak itu selain untuk kepentingan pementasan, temul juga menulis naskah
dalam bentuk Sandiwara Radio. Karena naskah-naskah sandiwara radio Temul dianggap
bagus, RRI Stasiun Pekanbaru
memberi kesempatan seluas-luasnya kepada anak muda ini untuk berkreatifitas. Pada pertengahan
tahun 1982 Temul dipercayai mengasuh 2 paket siaran, yakni Drama Melayu (drama
bersambung berbahasa melayu) dan Teater Angkasa (drama lepas berbahasa Indonesia). Paket siaran Drama Melayu
disiarkan dua kali dalam seminggu, pada hari Selasa dan Kamis, sedangkan
Teater Angkasa disiarkan
seminggu sekali pada tiap-tiap hari minggu. Dari kedua paket siaran tersebut,
sejak pertengahan 1982 sampai 1989 ia telah menulis lebih dari dua ratus judul
naskah sandiwara radio, beberapa diantaranya disiarkan pula oleh RRI Stasiun
Pusat Jakarta.
Bermula dari
bermain drama, berkat kemampuan menulis naskah dan menyutradarai yang
dimilikinya, akhirnya temul menemukan sosok dirinya sendiri. Konsep-konsep
lakon yang ia pentaskan punya ciri khas tersendiri. Naskah-naskahnya (terutama
Ketobong dan Ketuban) yang ditulis
dan disutradarainya banyak dibicarakan oleh para Tokoh Teater.
Karena
dinilai amat berbakat dibidang drama dan senirupa, pada tahun 1982 Temul
diambil oleh Departemen Penerangan RI untuk menjadi pegawai disana.
Bekerja di
departemen milik pemerintah yang satu ini bukanlah mudah. Apalagi bagi Temul
yang seorang seniman. Ia diharuskan melakukan disiplin pegawai, apel pagi dan
sebagainya yang bagi dirinya terasa amat memberatkan. Apalagi gaji yang diperolehnya setiap bulan hanya
pas-pasan, malah sering kekurangan, sedangkan beban tugas yang diembannya
cukup berat. Di tempatnya bekerja, anak muda ini dipercayai melakukan tiga tugas pokok.
Pertama menyampaikan pesan-pesan
pemerintah melalui seni pertunjukan rakyat yang disebut dengan “Panggung
Penerangan”. Kedua, menyampaikan pesan-pesan pemerintah melalui lukisan dalam
bentuk poster dan baliho. Ketiga, menyampaikan pesan-pesan
pemerintah lewat siaran radio dalam
bentuk paket siaran yang diberi nama Siaran Penerangan Daerah. Tentu tak semua pegawai yang mampu
melakukan itu, kecuali orang tertentu yang punya keahlian khusus dan sudah
terlatih untuk itu.
Berat memang.
Walaupun tugas tersebut di atas adalah tugas yang mulia. Untuk mengerjakannya
diperlukan kecakapan khusus, keuletan, ketelitian
dan daya nalar yang luas dari seorang karyawan. Tentu banyak orang yang akan
menolak bila ditawari tugas semacam ini. Pekerjaannya terbilang berat, cepat
membosankan, apalagi imbalan yang bakal diperoleh belumlah dapat dipastikan.
Tapi siapa menyangka sedikit keceriaan merona diwajahnya
tatkala Temul mengetahui beban tugas yang bakal diembannya itu. Pandangan
setiap orang untuk satu bidang pekerjaan tidaklah sama. Yang berat bagi orang
lain mungkin ringan bagi kita, yang membosankan bagi orang lain mungkin
menyenangkan bagi kita, begitu juga sebaliknya. Bagi Temul pekerjaan yang
semacam itulah yang amat menggembirakan hatinya. Itu memang sudah menjadi
kegemarannya. Pantas saja ia tersenyum
simpul sambil mengucapkan kata “Alhamdulillah”, sebagai tanda rasa syukur dan terimakasihnya kepada Allah yang telah mencocokkan
pekerjaan dengan hobinya itu.
Hari-hari
terus berlalu. Temul ' budak seni yang
senantiasa resah' itu tampak biasa-biasa saja menyandang predikat sebagai
pegawai negeri. Selama berada di Departemen Penerangan, ia lebih banyak beroleh
kesempatan memperdalam ilmu pengetahuan dibidang Seni Pertujukan dan pembuatan
poster. Untuk menjadikan ia trampil dibidang pekerjaannya, atasannya selalu
mengu tus Temul untuk mengikuti bermacam-macam diklat ke Jakarta, sesuai dengan
bidang tugas yang dibebankan kepadanya.
Disamping
bekerja, Temul tetap aktif melakukan kegiatan
berkesenian, melaksanakan kuliah,
malah oleh Dra. Saidat Dahlan (ketua
Jurusan bahasa dan santra indonesia) ia ditunjuk menjadi Asisten Dosen Luar Biasa Jurusan Bahasa dan
Seni, Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP di Laborat rium Bahasa
Universitas Riau untuk mata kuliah
Praktikum Sastra.
Pendidikan berpentas yang pernah ditempuhnya antara lain: Diklat Sosio
Drama (Jakarta 1984), Diklat Seni Pertunjukan Rakyat (Jakarta 1986),
Diklat Seni Pertunjukan Pola Bagong Kusudiarjo ( Jakarta 1987). Penataran
Panggung Penerangan (Jakarta 1989), disamping itu juga banyak mengikuti seminar
dan sarasehan kesenian di berbagai tempat sejak 1977 sampai sekarang.
MENGUNGKAPKAN JATI DIRI LEWAT SAJAK
Sejak
di bangku Sekolah Dasar anak muda ini suka berdeklamasi. Dalam membaca sajak ia
lebih gemar memilih sajak-sajak yang ditulis oleh Khairil Anwar, beberapa sajak
Amir Hamzah, terakhir ia lebih suka kepada sajak-sajak Sutarji Calzoum Bahri
dan Ibrahim Sattah. Baginya sajak-sajak Penyair tersebut dapat meluahkan
emosinya sebagai pembaca.
Terus terang dikatakan bahwa pemilihan sajak yang sesuai
dengan jiwa pembacanya akan menciptakan bacaan yang lebih baik. Temul merupakan
salah seorang pembaca sajak terbaik yang cukup diperhitungkan bagi teman-teman
seangkatannya.
Dalam membaca
sajak ia menemukan jati dirinya sendiri. Gaya bahasa dan ucapan kata yang
dilontarkannya penuh pesona dan memiliki karakteristik tersendiri, sehingga membuat perbedaan dirinya dengan pembaca lain. sehingga ia
lebih dikenal dan sering diundang pada acara-acara resmi.
Setiap kreator
mempunyai langgam proses penting pada karya-karyanya yang
tersendiri. Terkadang terlihat sama, tapi dalam persamaan itu tergurat
perbedaannya, yang dapat membedakan antara satu seniman dengan seniman lainnya. Perbedaan dalam persamaan itulah
terkadang banyak kurang diperhatikan orang.
Lain
halnya dengan membuat naskah, Menulis sajak baginya adalah suatu kepuasan
tersendiri. Kata-kata yang dituangkan dalam bentuk ‘seni untuk seni’ ini punya roh dan dapat meluahkan emosi.
Temul Amsal dan Nazrah Almadanie (1978)
Sajak
bukanlah ungkapan kata yang mudah untuk diterjemahkan oleh semua orang. karena
setiap unsur yang ada di dalamnya perlu dicerna lebih mendalam untuk
dimengerti. Karenanya sebuah sajak tidak dapat diterjemahkan dalam bentuk
prosa.
Temul
menulis sajak menggunakan kata-kata / bahasa yang berada lebih dekat dengan
dirinya, sehingga idiom-idiom yang mengental atas sebuah kata atau bahasa yang diperguna
kannya amat jelas untuk diekpresikan. Temul begitu jeli dalam memilih
kata-kata, ia tak mau berada terlalu jauh. Dalam mengekspresikan dirinya ia
selalu menggunakan kata-kata yang cocok untuk pengucapannya.
Dalam
keseharian ia tidak banyak berkomentar, kecuali menerima masukan berbagai
sumber pengetahuan dan pengalaman yang diceritakan seniornya seperti Ibrahim
Sattah, BM. Syams, Idrus Tintin, Taufik Efendy Aria, disamping Leon Agusta dan
Sutarji Calzoum Bahri yang presiden penyair
itu.
BERGELUT DI DUNIA SENI RUPA
Bagi Temul berkecimpung di nunia seni rupa sudah tak asing
lagi, karena cabang seni yang satu ini memang sudah mendarah daging baginya.
Sejak di sekolah dasar ia sudah sering diberi tugas untuk membuat tiruan gambar
pahlawan nasional sebagai hiasan dinding . Ketika ia di sekolah menengah banyak
guru-guru yang menyenanginya karena hobbinya yang satu ini.
Ia
disenangi para guru bukan hanya karena
hasil lukisannya yang indah itu menghiasi dinding kelas tempatnya belajar,
tetapi karena keterampilan ganda yang ia miliki. Selain melukis ia juga mahir
menata taman, memahat ukiran, membuat patung dan membuat lukisan tiga dimensi
(relief).
Anak muda yang menggemari aliran naturalis ini melukis
secara alami ‘tanpa guru’. Ilmu mendalami pengetahuan dalam hal lukis melukis
didapatnya dari melihat buku-buku lukisan
Katthe Kollwitz; Alte Meister; Johan Christian Dahl; Ludwig Richter dan
Pablo Picasso yang dikirimkan oleh adiknya Tengku Nurhidayah yang waktu itu
kuliah di Giessen Jerman.
Temul
sering mengadakan Pameran Seni Rupa dengan teman-teman senimannya di beberapa
kota di Indonesia. Malah dalam pameran lukisan kaligrafi Provinsi Riau tahun
1993, lukisan kaligrafinya sempat menarik perhatian banyak pengunjung.
Akhir tahum 1995, dilaksanakan Pameran
Seni Rupa se-Sumatera yang bertempat di Museum Daerah Sang Nila Utama,
Pekanbaru. Pada waktu bersamaan Temul Amsal beroleh kesepatan pula menggelar
pameran tunggalnya pada acara Dialog Selatan II, waktu itu Temul memamerkan
sekitar 30 lukisan terbarunya di ruangan elit Balai Dang Merdu. Karena
kesibukan Pameran Tunggalnya itu, pada Pameran Lukisan Se Sumatera Temul hanya memajang
dua buah lukisannya yang berjudul “Perempuan Mandi” dan “anak-anak suku
talang”.
Ternyata lukisan Temul banyak diminati
oleh kolektor dari negara tetangga terutama
Ma laysia dan Singapura.
--------------
BEBERAPA
PENGALAMAN UNIK
Pernah
suatu ketika (1972) Temul masih di sekolah lanjutan Pertama, ia
diberi naskah suatu lakon drama oleh sanggar “Balai Artis” untuk suatu lomba
teater. Karena tengah menghadapi ujian dan berbagai kesibukan, Temul tak mungkin
menghadiri latihan bersama. Untuk itu ia hanya diminta menghapal naskah dan
menghayati perwatakan peran yang diperuntukkan kepadanya. Secara kebetulan pada
malam pementasan itu Temul datang agak terlambat, sehingga ia tak sempat
bertemu muka dengan seluruh kawan mainnya. Diatas pentas. Saat lakon dimulai.
Alangkah terkejutnya ia, tatkala ia berdialog dengan teman mainnya,
(Elly) seorang wanita cantik yang tak pernah ia duga sama sekali. Wanita cantik itu
adalah guru idolanya di kelas. Guru idolanya itu tak pernah bercerita bahwa dirinya pandai bermain drama dan sedang mengikuti latihan drama untuk pementasan pada malam itu. Sebaliknya Elly yang bertubuh semampai itupun terlihat gugup. Iapun tak menyangka bahwa pada malam itu, diatas pentas, dia bakal dipertemukan dengan anak didiknya yang menurut cerita teman-temannya ahli berlakon, namun sebagai guru honor yang belum sampai sebulan di tempat itu, dia memang belum pernah menyaksikannya.
Syafrial Syamsuddin, Temul, Mislien dan Abd Malik
dalam lakon 'Telegram' (1984)
Waktu
di SMA (1975) Setelah latihan hampir sebulan, sehari sebelum pementasan
Temul diserang batuk parah. Ketika melakukan latihan terakhir ia tak ikut naik
panggung. Ia duduk saja di kursi, mukanya pucat dan tak dapat berbicara (karena
batuk berkepanjangan). Ahmadsyah, gurunya yang tamatan Sekolah
Tinggi Olahraga itu (tetapi hobby dan pandai bermain drama)
tampak kecewa dengan penderitaan anak muda ini. tapi apa boleh buat, peran yang Ia bawakan ‘berdasarkan kasting’ itu tak mungkin dapat digantikan
oleh orang lain. Guru olahraga dan kesenian yang terkenal ‘‘bengis’ itu tak
dapat marah, karena ini memang penyakit dan bukan hal yang dibuat-buat. “Apa
yang akan terjadi terjadilah” pikir Ahmadsyah sambil menyapu keringat yang
mengalir di wajahnya. Kendati begitu ia tetap berdoa, mudah-mudahan saja pada
waktunya nanti, penyakit batuk yang diderita pemain utamanya itu sedikit
mereda.
Pementasan SMA 307 yang salah satu pemeran utamanya
adalah Temul, pada malam itu tepat pada giliran kedua. Kekecewaan kembali
mengerogoti hati sanubari Ahmadsyah si guru olahraga dan kesenian yang biasanya
ceria itu. Akibatnya lelaki separoh
baya itu tak sanggup lagi membusungkan dada di hadapan khalayak sebagai mana
biasa ia lakukan. Kalau selama ini ia selalu bangga dengan kemampuan anak
didiknya itu, kali ini ia hanya menunduk lesu, kemudian berdiri, mondar mandir dari sudut kesudut ruangan.
Di belakang pentas Temul terus
terbatuk-batuk dan muntah-muntah. Pementasan pertama dari grup kesenian SPG
berakhir dengan tempik sorak penonton menyemarakkan suasana. Dengan perasaan
yang amat kecewa Ahmad Syah bergegas kebelakang pentas. Permainan kedua sudah
dimulai, Temul masih terbatuk-batuk. Sampai pada saatnya, dengan wajah memerah,
guru kesenian itu menangkap tangan Temul, serta merta mendorong anak muda itu ke
dalam arena permainan. Dorongan guru yang
bertubuh kekar dan sudah bertahun-tahun melakukan latihan rutin berbagai
ilmu seni bela diri itu begitu kuat. Temul masuk ke arena permainan. Tak dapat
Ia memperlambat langkahnya, Di
tengah-tengah pentas anak muda ini sempoyongan dan jatuh tertelungkup.
Bersamaan dengan itu terdengar riuh tempik sorak penonton. Membahana mengisi
ruangan.
Temul dalam lakon " Misteri Tanjung Pembunuh " 1981
Adegan yang sama sekali tak
diduga-duga ini amat mengagumkan hadirin yang menyaksi kannya saat itu. Tempik
sorak bergumam menjadi satu. Temul (yang waktu itu membawakan perwatakkan
seorang tua) bangkit dengan perlahan, mengusap-usap persendiannya.
Sesekali ia mengerang kesaskitan. Suasana menjadi hening. Temul merasa
pancingannya mengena, improvisasinya berhasil menyugesti penonton. Dengan
gerakan halus ia coba menggabungkan mofemen
dan gustur yang tak disengaja itu dengan adegan sesungguhnya sebagaimana
saat ia dan teman-temannya melakukan latihan acting di sekolah. Pikirannya
betul-betul tercurah pada watak sang tokoh yang ia lakonkan. Selaku seorang
pemain yang sering mengadakan latihan, ia tak mau kalah saing dengan
pemain-pemain lain, grup yang dipimpinnya harus berada di atas angin, mereka
harus menang. Untuk itu ia harus secermat mungkin memimpin teman-temannya
diatas pentas agar mereka mampu menunjukkan sesuatu yang terbaik yang dapat
memukau penonton.
Permainan
pada malam itu berlangsung dengan seru. Adegan demi adegan mereka jalani dengan
seksama. Sampai pada pada tahap akhir, tepuk sorak penonton membludak lagi, mengakhiri
pementasan malam itu.
Temul
dan kawan-kawannya berhasil. Permainan pada malam itu begitu mempesona dan
diakhiri dengan rasa puas bagi penggemarnya. Layar ditutup. Temul tampak lelah
berman dikan keringat. Ahmadsyah menyalaminya dan memeluknya, mengangkat dan
membaringkan Temul diatas meja.
Beberapa orang teman mengipasinya dengan lembaran karton.
Anak muda ini kembali terbatuk-batuk seperti semula. Semua teman yang mengetahui kesehatannya terheran-heran, mengapa waktu berada di areal permainan tadi
batuknya jadi hilang, setelah itu kumat lagi.
Masih
sekitar dunia perteateran. Pada pertengahan 1978, sewaktu Temul mentas di
Auditorium Universitas Riau. Ketika penonton sudah mulai berdatangan, beberapa
saat kemudian Temul sampai disitu.
Anak muda ini
langsung menuju kebelakang pentas untuk melihat berbagai persiapan.
Alangkah terkejutnya ia ketika disadarinya bahwa berbagai perleng kapan untuk
mentas pada malam itu (seperti busana dan
sebagainya) tak ada satupun yang tersedia. Ini adalah gara-gara keasikannya
menata pentas sehari semalam tanpa istirahat. Tanpa berpikir panjang Temul langsung berlari
menuju rumahnya untuk mengambil bahan-bahan yang memang sudah dipersiapkannya
sejak lama. Melihat Temul berlari, Ubai dan Mahyuddin mengikuti berlari dari
belakang, padahal jarak rumahnya dengan tempat pementasan tersebut ada sekitar
4 kilometer pulang pergi. Maklumlah kehidupan mahasiswa pada masa itu amat
miskin, tak punya kendaraan seperti umumnya mahasiswa sekarang. Akhirnya dengan
tubuh yang penuh keringat, pementasan malam itu berhasil juga mereka
selesaikan.
Temul
juga pernah menulis beratus-ratus undangan dengan tulisan tangan dan melukis
sampul undangan tersebut satu persatu dengan tangannya sendiri untuk suatu
keperluan pemen tasan di kampusnya. Pendek kata keuletannya dalam seni menyeni
ini memang tak ada duanya.
Tak
heran kalau RRI Stasiun Pekanbaru memberikan kepercayaan seratus persen padanya
untuk mengasuh paket siaran Drama Melayu (drama bersambung). Padahal dalam
membuat naskah drama tersebut dia juga punya keunikan tersendiri. Naskah
bersambung yang disiarkan 2 kali seminggu itu bukan diselesaikannya sekaligus.
Temul memikirkan dan mengetiknya pada setiap malam sebelum drama tersebut
direkam. Pernah ketika ditanya oleh rekan-rekan di RRI bagaimana kelanjutan
cerita yang dibuatnya itu nanti, dengan senyum Temul menjawab “ dengarkan saja
siaran berikutnya”.
kliping koran tentang Temul Amsal
KARYA - KARYANYA
Karya-karyanya
yang pernah dipublikasi kan antara lain : Catatan Resah (sajak-1980); Puisi
Pekanbari’80 (antologi puisi); Empat Berseru
(antologi 1982); Blak-Blak Duka
(antologi puisi- 1983); Bahang (antologi puisi- 1984); Lena (sajak bersama
Dasri Al-Mubari-1986); Sair Orang Orang Pinggiran (sajak bersama Dasri
Al-Mubari 1991); Menggantang Warta Nasib (sajak bersama penyair Riau- 19…) ;
Dongeng Buat Rega ( sajak 2002); Kumpulan Sajak Riau Satu ke 2 (2001) ;
Menggapai Matahari (sajak 2002); Sejak Pelalawan Jadi Kabupaten (sajak-2002);
Jalan Bersama (antologi sajak-2006);Senja Membawa Maut (drama-1975); Nutung
Kembar (drama 1978); Ayahku Petani Desa
(drama –1978); Gerhana di Indrapura (drama-1980); Keris Sebagai Saksi
(drama-1980); Misteri Tanjung Pembunuh (drama-1981); Gelombang (drama-1981);
Kemantan Karim (drama-1982); Misteri Pulau Penyamun (drama-1982); Secarik Koran
Usang (sinetron televisi-1983); Lantera (drama-1984); Lanun Pulau Batu
(drama-1985); Ketobong
(drama-1984-86-89); Ketuban (drama 1985-1991); Tuk Awang Pahlawan Dusun (drama
19885); Serikat Hantu Kubur (drama 1985); Telegram (drama-1986); Inai Berdarah
(drama-1988); Puang (drama-1985-1990); Kau (dramatisasi puisi 1988); Buih-Buih
Pasang (sinetron televisi-2000); Rimba Sialang (sinetron televisi-2000); Anak
Penjual Putu (drama anak-anak-1991); Putri Lindung Bulan (Kumpulan Naskah Drama
Provinsi Riau-2003); Tali Belati (sinetron televisi-bersama Boma-1988); Membuka
selubung Biru (film Doku menter Objek Wisata Provinsi Riau 1988) dan banyak
lagi yang tak tercatat. Sejak 1982
sampai 1989 Temul telah mempublikasikan pula tak kurang dari 200 judul naskah
sandiwara radio melalui beberapa stasion radio siaran.
Catatan
ini ditulis berdasarkan karya-karya beliau yang dapat kami kumpulkan, sebagian
dian taranya dikutip melalui undangan / selebaran / kliping Koran yang
diperoleh melalui arsip berbagai kalangan / kolektor seni di beberapa tempat.
Kebanyakan dari naskah-naskah drama yang ditulis Temul Amsal didapat dari para
pemain teaternya yang pernah memerankan cerita tersebut. Sedangkan si pembuat
naskahnya, yaitu Temul Amsal sendiri tak pernah terpikir untuk menyimpan karya-karyanya itu.
-----------------
Tidak ada komentar:
Posting Komentar