Kamis, 23 Februari 2012

Temul Amsal



BUDAK SENI 
YANG SENANTIASA RESAH



Catatan : S.M. Asseggaf   (Maret 2006)
                  
                                        
               MULAI MENJEJAKKAN TELAPAK 
                              KEDUNIA SENI

            Seorang anak laki-laki tertegun di padang rumput. Padang rumput itu terletak berhampiran dengan tugu Proklamasi Kemerdekaan Republik indonesia 1945, yakni sebuah monumen kenang-kenangan, penyerahan kedaulatan Kerajaan Pelalawan kepangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia oleh Sultan Pelalawan terakhir Tengku Said Haroen dengan gelar Almarhum Setia Negara, di desa tua Pelalawan. Umur anak itu baru tujuh tahun. Tanpa berkedip, matanya menatap tajam ke sebuah bangunan pentas yang terdapat di salah satu sisi lapangan itu.
Di pentas itu ada beberapa lelaki dewasa sedang asik ‘terenen’. Mereka  mondar mandir sambil melakukan gerak-gerak tertentu, berdialog dengan melontarkan suara yang lantang. Hampir seluruh ucapan dalam dialog itu menggunakan kata-kata indah. Tindakan dan perbuatan semacam ini  persis seperti apa yang tertera dalam cerita-cerita sejarah kerajaan tempo dulu yang selalu diceritakan neneknya menjelang tidur. Begitu bersahaja indah,  mempesona dan amat mengasikkan.
               
Anak laki-laki tadi menyaksikan semua kejadian itu. Ia melihat perbedaan sikap, gerak gerik dan mimik yang diperankan oleh masing-masing pemain yang terdiri dari orang-orang dewasa. Ia mendengar nada dan irama yang berbeda dari pengucapan masing-masing sang tokoh. Mudah dimengerti. Begitu menarik.  O…Betapa indahnya.

Karena ingin memiliki rasa keindahan itu tadi, anak lelaki tersebut menceritakan, kemudian membawa beberapa temannya menyaksikan apa yang telah dilihatnya. Ternyata teman-temannya merasa tertarik. Tanpa diberi tugas, mereka memperhatikan secermat mungkin peristiwa yang berlangsung di hadapannya. Alhasil dari pengamatan itu akhirnya mereka mampu mengingat setiap gerakan dan menghapal setiap dialog yang didengarnya.

           
Dengan penuh keyakinan disertai iktikat dan semangat yang kuat, melalui ‘kursus tanpa guru’ itu tadi, mereka menggabungkan diri dan membuat sebuah grup “sandiwara”. 


tugu dengan latar pentas drama di desa Pelalawan (Ry. foto 1965)

Hampir setiap sore, sepulangnya dari menyaksikan latihan berpentas orang-orang dewasa itu, anak anak  tadi   mengadakan   latihan   pula   di bawah  pohon 'niur puyuh' yang tegak tak seberapa jauh dari pentas itu.

            Saking asiknya latihan, anak-anak tersebut selalu lupa waktu dan sering pulang terlambat. Akibatnya mereka mendapat teguran dari orangtuanya masing-masing.

Setelah merasa cukup mahir, tanpa melontarkan pengumuman dan surat undangan lelaki-lelaki kecil tadi mengadakan pagelaran.

Beberapa kerangka kayu ditegakkan, di tutupi dengan beberapa helai kain sarung yang mereka bawa dari rumahnya masing-masing. Jadilah sebuah pentas mungil. Pentas itu berada di sebelah hilir desa, tak jauh dari bangunan bekas istana sultan Pelalawan yang pada waktu itu masih dihuni oleh keluarga kerajaan. Sebagai alat penerangan, anak-anak tadi memotong beberapa ruas bambu. Potongan-potongan bambu tersebut diisinya dengan minyak tanah dan diberi bersumbu tali goni, kemudian dari ujung sumbu itulah mereka menyalakan api.

Lahirnya grup sandiwara anak-anak ini amat menggembirakan banyak orang. Kenapa tidak. Pertama orang-orang kampung di sana waktu itu memang haus akan hiburan. Sedangkan grup sandiwara orang dewasa hanya main pada waktu-waktu tertentu saja, seperti pada perayaan menyambut hari ulang tahun Kemerdekaan Republik Indonesia  atau pada hari-hari yang telah ditetapkan seperti sehabis musim panen, sedangkan grup anak-anak tersebut bermain tak kenal waktu (boleh dikatakan hampir setiap malam mereka mengadakan pergelaran). Sedangkan di Pelalawan masa itu usahkan televisi, orang yang memiliki radio saja dapat dihitung dengan jari jumlahnya.

Grup sandiwara anak-anak ini selalu menjadi buah bibir mereka yang pernah melihatnya. Dengan cepat khabar berita itu tersiar dari hilir sampai kehulu kampung. Kehadiram mereka lebih cepat dikenal, apalagi anak-anak yang bergabung dalam grup itu umumnya generasi penerus yang ayahnya adalah pemain drama, pemusik dan pelawak yang sudah tak asing lagi bagi orang-orang di sana.

Pementasan grup anak-anak ini setiap malamnya selalu berhasil dengan memuaskan. Entah daya tarik apa yang dapat memukau penontonnya tidaklah begitu penting, yang pasti malam demi malam jumlah penonton yang menyaksikan pagelaran mereka semakin ramai saja. Walaupun berpentaskan kain, berlampu obor, bermake-up ‘arang jelaga’ dengan property seadanya dan yang dipentaskan cerita itu ke itu juga, orang-orang kampung tak bosan-bosan me nontonnya.

Bagi anak kecil tadi timbul juga rasa cemas didalam hatinya. Mengapa ia dan teman-temannya harus memainkan lakon itu ke itu juga. Padahal perbuatan semacam itu lambat laun pasti mendatangkan kejenuhan bagi yang melihatnya. Akibatnya tentu mereka akan ditinggalkan oleh penontonnya. Namun perasaan itu harus dipendamnya sendiri. Ia masih terlalu kecil. Belum mampu berbuat sesuatu yang lebih baik untuk menghibur dan memberikan kepuasan  kepada masyarakat sekitarnya.

Tapi nanti setelah  dewasa ia terus  berusaha dan berusaha meningkatkan kreativitasnya. Di bidang teater ia seorang aktor, penulis naskah dan sutradara. Dia juga penulis  sajak, dan deklamator. Dia  gemar melukis, membuat relief dan kaligrafi. Dia seorang seniman yang cukup diperhitungkan.

Dibidang kesenian ia begitu disegani, karena ia memiliki beberapa keahlian yang jarang ditemui pada seniman lainnya.  Dalam kehidupan sehari-hari kelihatan ia begitu resah menggeluti darah seni yang merambah disekujur tubuhnya itu.

Siapakah dia….?  Dia adalah Temul Amsal, seorang penulis, teaterawan, penyair, pelukis dan pemerhati seni dan budaya dari Riau.

sanggar teater "GEMA" pekanbaru - 2012

MASA KANAK – KANAK DI KAMPUNG HALAMAN

Desa Pelalawan adalah sebuah desa tua, bekas ibukota sebuah kerajaan . Di desa inilah bermukimnya para pembesar kerajaan Pelalawan tempo dulu. Sekarang Desa ini merupakan Ibukota kecamatan Pelalawan dari Kabupaten Pelalawan di Provinsi Riau. Dari desa inilah mula berkembangnya berbagai macam corak seni budaya yang akhirnya menyebar ke daerah-daerah sekitarnya.

Beberapa bentuk teater yang terdapat di Pelalawan antara lain : tonel, bangsawan, drama klasik, lawak, dan teater tutur. Sedangkan seni tari  adalah: zapin, joget dan tari tradisi yang sering dipergunakan dalam upacara pengobatan; jenis puisi adalah mantera dan nyanyi panjang. Di desa ini juga berkembang beberapa jenis permainan rakyat, diantaranya: bergasing, kedao, pencak silat, lukah gilo dan sebagainya. Disamping itu juga terdapat berbagai jenis seni rupa yang berbentuk kerajinan anyaman dan ukiran.

Di desa inilah Temul Amsal dilahirkan, tepatnya pada tanggal 31 Juli 1954. Ia berdarah bangsawan. Nama aslinya Tengku Said Mulya Amril Assaggaf. Lahir dalam lingkungan keluarga bangsawan, “menjerang air hangat” moyangnya, Tengku Said Haroen (Sultan terakhir Kerajaan Pelalawan).

 ‘Menjerang air hangat’ merupakan salah satu tradisi bagi masyarakat setempat, khususnya keturunan bangsawan di daerah itu. Setiap anak yang baru lahir, sebelum di azan / diqamadkan, anak tersebut terlebih dahulu haruslah dibersihkan yakni memandikannya dengan air yang sedikit panas. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, siapa yang “menjerang air hangat” untuk mandi pertama, bagi bayi yang baru lahir dari kandungan ibunya, niscaya sikap dan prilaku orang itulah yang akan berpindah kepada anak tersebut. (menjerang air hangat ini dilakukan dengan mencolokkan puntung api yang sedang membara kedalam air yang sudah mendidih).





Ayahnya bernama Tengku Said Aman Saleh, Ibunya adalah Tengku Syarifah Hidayatul Akmal. Aman Saleh ini adalah seorang pemain drama dan pelawak yang cukup dikenal di desanya. Karena kelucuannya dalam membawakan berbagai peran, sehingga ia dipanggil orang dengan gelar “Cik Abu” (singkatan dari Abu Nawas) , yakni seorang tokoh lucu dari negeri seribu satu malam yang cukup dikenal.

            Terpengaruh karena sering menonton sang ayah ‘trenen’ (sebutan untuk latihan drama pada waktu itu), sejak kecil Temul sudah berani melakukan pagelaran bersama-sama teman kecil nya yaitu; Jumen, Fakhri, Khatib Amil, Gendang, Khairul, Alwie, Latib, Khalil dan Syamsur Anwar.




"Rumah Besar" Rumah Tengku Said Saleh (jaksa kerapatan kerajaan pelalawan)
di rumah inilah Temul Amsal dibesarkan

            Pagelaran hampir setiap malam, yakni dilakukan disebuah pentas terbuka dipinggir jalan umum ( lokasi selalu berobah-robah). Pentas dibuat dengan menancapkan beberapa batang kayu kecil sebagai penopang dinding yang dibuat dari beberapa helai kain batik. Guna menerangi penonton dan pemain, dibuat beberapa batang obor dari bambu. Cerita yang dipentaskan selalu cerita yang bertemakan kerajaan dan sejarah perjuangan (yang didapat dari menonton orang dewasa latihan drama). Busana direka sendiri-sendiri dari pakaian sendiri dan diusahakan sesuai dengan peran. Make-up, ‘arang jelaga’ yang dicampur sedikit minyak kelapa dan bedak. Dekorasi, daun-daunan yang diambil dari semak-belukar disekitarnya. Properti yang dipakai biasanya berupa tiruan senjata tajam dari kayu yang dibuat sendiri (waktu itu yang ahli dalam hal ini adalah Khalil dan Syamsur Anwar).

            Karena kasihan melihat grup anak-anak ini mentas di tepi jalan, Tuk Wak (seorang paman yang tidak mempunyai anak) menghadiahkan sebuah lampu petromak, beberapa waktu kemudian memindahkan pentas anak-anak ini kerumah beliau. Tetapi Temul dan kawan-kawannya tak merasa betah setelah beberapa malam bermain di rumah tersebut, karena tidak ada penonton, akhirnya mereka kembali kepinggir jalan. Beberapa waktu kemudian gangguan datang lagi. Kali ini ‘Pak Camat’, Tengku Said Jaafar Muhammad (seorang paman yang sering menjadi penata pentas gerup orang dewasa) memindahkan pentas jalanan ini kerumah beliau yang terletak di ujung kampung sebelah hilir desa Pelalawan. Dirumah tersebut telah dibuatkan pentas dari kain, disediakan minuman dan makanan ringan (karena kehidupan ekonominya memang sudah mapan), namun kesenangan jiwa belumlah didapat. Pemisahan antara pemain dengan penontonnya (yakni masyarakat penikmat) merupakan tekanan batin yang berat bagi anak-anak tersebut. Oleh sebab itu Temul dan teman-temannya kembali turun ke jalan. Kali ini pementasan yang disuguhkan lebih seru, sebab beberapa malam mentas di rumah T.S.Jaafar.M itu  anak-anak tersebut mendapat pengalaman baru, karena disana mereka diajarkan beberapa cerita baru, yang digubah Tengku Khalil, berdasarkan pengalamannya dari nonton film di Pekanbaru.

kenangan bersama Idrus Tintin 1997


MEMULAI KREATIVITAS DI ALAM YANG BARU

            Keadaan ini tak berlangsung lama. Hapusnya Kewidanaan Pelalawan, membuat kota tua bekas ibukota kerajaan itu tak punya wibawa sama sekali. Tinggallah Pelalawan jadi sebuah desa kecil dibawah naungan Kecamatan Bunut yang ibukotanya Pangkalan Bunut. Keturunan Bangsawan yang sebahagian besar bekerja sebagai pegawai negeri terpaksa pindah mening galkan desa kelahiran mereka. Tak ketinggalan pula Temul. Pada pertengahan 1967 Ia mengikuti ayahnya yang pegawai negeri itu pindah ke Pekanbaru. Ketika ibukota Kabupaten Kampar dipindahkan dari Pekanbaru ke Bangkinang, beliau juga ikut orangtuanya kesana. Ia melanjutkan pendidikannya kembali ( kelas 4 ) di Sekolah Dasar Negeri Nomor 2 Bangkinang.

Selama di Bangkinang kebingungan merona diwajah Temul. Ia tak bisa berbuat apa-apa karena memang betul-betul tak punya teman yang sehoby dengannya. Di SD ia duduk berdekat an dengan Israr. Teman sebangkunya ini suka menggambar, Israr adalah anak seorang pelukis. Keindahan gambar yang dibuat Israr ini begitu menarik perhatian Temul. Pada waktu-waktu senggang di sekolahnya, Temul dan Israr selalu membuat gambar bersama-sama. Gambar yang dibuat kedua sahabat ini selalu menarik perhatian guru mereka. Pernah suatu hari kedua anak ini dibelikan pensil warna oleh gurunya.

Bagi Temul, cerita lukis melukis ini memang sudah sering menjadi pembicaraan diantara keluarganya, karena dua orang famili terdekatnya yakni Tenas Effendy dan Dey Nazir Alwi adalah dua orang pelukis yang sudah dikenal. Sesekali pada waktu senggang, apabila Temul datang berkunjung kerumah mereka, temul selalu terpesona menatap lembutnya tarikan kuas kedua pelukis itu.

Ketika ia sudah meningkat dewasa, Dey Nazir Alwy pernah menawarkan agar Temul sering-sering datang kerumahnya untuk belajar melukis, sebab disana semua bahan tersedia termasuk cat minyak dan kanvas yang harganya terbilang mahal waktu itu.  Tetapi karena sikap pendiamnya, ia merasa malu bertandang kerumah familinya itu. Sebaliknya Temul  memilih untuk belajar melukis sendiri secara alami bersama Ahmad Rosman teman sebayanya yang sama sekolah dan tinggal berdekatan rumah. Temannya ini punya kegemaran melukis, ia magang di sebuah studio lukisan “ Muzeno “ di pasar Bangkinang. Selepas belajar di sekolah, Temul dan Rosman menghabiskan waktunya untuk belajar melukis bersama-sama di stadion sepak bola “Yani Sakti 134” yang kini bernama ‘Stadion Tuanku Tambusai’, tak jauh dari rumah mereka.

 Tapi belajar tanpa guru begitu, memang amat menyakitkan. Berbulan - bulan mereka menyita waktunya, menghabiskan berpuluh-puluh kaleng cat dan kanvas, tetap saja tidak menghasilkan apa-apa. M. Noor (seorang teman sebayanya yang pandai melukis waktu itu) selalu datang meninjau kegiatan mereka, tetapi terlalu sulit untuk berbagi pengalaman. Namun Temul tak pernah merasa putus asa.

Selesai menamatkan pendidikan di Sekolah Dasar, Temul bermaksud melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Tekhnik. Sayangnya Sekolah tersebut tidak ada di Bangkinang. Untuk hijrah ke kota lain, terus terang orang tuanya tak mampu, maklum gaji seorang pegawai negeri golongan dua waktu itu tak cukup untuk makan sebulan, apalagi untuk menyekolahkan anak ke tempat yang agak jauh. Akhirnya atas dasar berbagai pertimbangan dan nasehat pamannya T.Said Jaafar.M (yang sudah jadi ketua DPRD waktu itu) anak muda ini dengan  berat hati terpaksa merelakan dirinya masuk Sekolah Menengah Ekonomi Pertama. Selama sekolah di sini Ia terus menekuni hobinya  melukis. Masa itu ia berteman dengan Faidul dan Yapizam yang datang dari Tembilahan. Kedua temannya ini punya kegemaran, melukis ulang gambar-gambar yang terdapat di berbagai majalah dengan cat air.

Bakat  melukis anak muda ini baru betul-betul tampak ketika ia tinggal disebuah gubuk sewaan, menemani T. Nazirun (pamannya yang bekerja sebagai seorang guru SD). Pamannya ini punya kegemaran melukis potret dengan konte. Melukis potret diatas kertas dengan mempergunakan ‘pensil hitam spesial’ ini begitu mengasikkan. Keasikkan Temul melukis potret sambil menimba pengalaman dari pamannya itu,  membuat ia berhasil menemui titik-titik kelemahnya selama ini. Melalui coretan contenya, anak muda ini akhirnya mampu menciptakan ‘aliran darah’ pada raut wajah potret-potret yang dilukisnya. Dengan itu Ia merasa puas dan bertekat untuk terus memperdalam karya lukisanya.

Setelah menamatkan pendidikan di SMEP, Temul seolah-olah mengayuh sebuah perahu yang tak berkemudi. Untuk meneruskan sekolah pada jurusan ekonomi yang lebih tinggi, terus terang ia tak punya bakat untuk itu. Walaupun di sekolahnya dulu ia pandai Tata Buku dan Hitungan Dagang, namun ia lebih menggemari mata pelajaran Mengetik dan Stenografi. Temul memang cekatan menulis steno. Dalam usianya yang begitu muda ia sudah mampu menyaingi seorang jurnalistik. Untuk mencatat percakapan, usahkan pidato, orang berbual-bualpun mampu ia catat dengan cepat tanpa meninggalkan satu katapun. 


Temul Amsal bersama pelawak Indonesia S.Bagio  - Jakarta 1984



Pada waktu itu Temul berkelana kemana ia suka. Pernah bekerja balak, kadang-kadang berbulan-bulan ia mengikuti Teater Keliling, pergelaran ke berbagai kota. Suatu ketika saat ia kembali kerumah orangtuanya, oleh Pamannya T. Said Hamid ia dimasukkan ke Sekolah Menengah Atas Negeri 307 Bangkinang. Untung saja Temul mampu menempatkan dirinya sederajat dengan teman-teman sekelasnya, padahal ia sudah ketinggalan mengikuti pelajaran beberapa bulan.

Walau sebagai anak baru, di sekolah itu Temul lebih cepat dikenal. Dia memang anak pendiam, prestasi belajarnyapun sedang-sedang saja, tapi dia punya beberapa keahlian yang jarang dimiliki oleh siswa lainnya. Karena itu tak heran kalau Temul selalu mendapat perhatian ektsra dari guru-gurunya.

Selaku Sekretaris Osis, Ia mampu bekerja sama dan membimbing rekan-rekan sekolahnya dengan tekun. Dalam pergaulan sehari- hari ia tak pernah menyombongkan diri, sebab itu semua siswa dan guru-guru suka padanya.

Di sekolah itu, disamping belajar, Temul senantiasa menyibukkan dirinya dengan Dunia Seni yang pernah ia geluti, dia suka membimbing rekan-rekannya, terutama dibidang seni rupa, deklamasi dan bermain drama. Pada waktu-waktu senggang teman-temannya selalu meminta nya untuk menggoreskan beberapa ungkapan dan kata-kata mutiara serta sketsa ‘karikatur & penyet’ pada notes pribadi mereka.

Temul bukan saja akrap dengan teman-teman sekelasnya, namun ia dikenal oleh hampir semua siswa, baik laki-laki mapun perempuan sejak dari kelas satu sampai kelas tiga, mulai jurusan IPS sampai IPA. Hanya sayangnya anak muda yang satu ini, kalau ditanya tak pernah tau nama teman-temannya.



KEMBALI BERGELUT DI DUNIA TEATER

            Temul yang sejak masih ingusan di kampung halamannya dulu sudah memulai karir dibidang teater begitu kebingungan. Di Bangkinang ia tak punya seorangpun teman yang sehoby dengannya. Masa-masa sepi itu dilaluinya sampai tamat Sekolah Dasar.

Pertemuannya dengan Tengku Syamsu 'Essa Putra Assaggaf' (pamannya yang penulis naskah drama dan jadi Kepala Seksi Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Kampar), serta datangnya Tengku Kasrun, Zuraida dan beberapa orang guru SD yang hobby bermain drama (melanjutkan pendidikan di KPG)  Bang kinang,  seperti : T.M.Tahar, T. Syirwan Jais, Azli dan Wan Warni menggerakkan kembali darah teater yang mengaliri urat nadi Temul yang selama ini hampir membeku. Secara perlahan-lahan ia berusaha menyatukan diri dengan seniornya itu. 

                   Temul Amsal & Ubaidillah dalam lakon 'Nutung Kembar (1978)

            Mula-mula oleh pamannya, Temul hanya diserahkan sebuah kunci, dengan begitu berarti anak muda ini harus bertanggung jawab untuk membuka dan menutup ruang latihan setiap sore. Tugas ini sebetulnya cukup membosankan, tapi bagi Temul tidak. Ia merasa lebih beruntung. Sebab dengan membuka dan menutup ruangan latihan, berarti ia harus hadir disana selama orang latihan. Dengan itu ia  punya kesempatan untuk melihat seniornya itu melakukan latihan, dengan begitu ia lebih mudah menimba pengalaman. Celakanya diantara enam orang pemain, yang rajin datang cepat hanya dua atau tiga orang saja. Selebihnya tugas anak muda inilah untuk memberitahu dan menjemput mereka kerumahnya masing-masing.

            Menjemput para pelaku untuk melaksanakan latihan bukanlah suatu perkara yang mudah. Kendaraan yang ada pada waktu itu hanya sepeda (itupun milik orang-orang tertentu saja). Temul tak pandai mengendarai sepeda. Jadi untuk menjemput masing-masing pemain Temul terpaksa menggiring sepeda tersebut dengan berjalan kaki. Setelah sampai ketempat tujuan yang jaraknya beberapa kilo meter, barulah Temul dibonceng kembali ketempat latihan oleh orang yang dijemputnya tadi.

            Pekerjaan semacam itu sebenarnya lama-kelamaan terasa berat dan amat menjengkelkan, tapi untunglah pada malam pagelarannya Temul dipercayakan untuk menata pentas. Dengan demikian rasa jengkel itu sedikit terobati. Pada hal tugas menata pentas waktu itu lebih berat lagi.  Sebab segala peralatan yang diperlukan, termasuk property harus disiapkan dan dikerjakan sendiri, tanpa uang lelah sepeser pun. Tapi  bagi anak muda ini, hal yang begitu dianggapnya lebih banyak memberi keuntungan. Dengan dibebani tugas menata pentas berarti ia diberi kesempatan untuk ikut berkreatifitas dalam pementasan tersebut.

            Pada suatu ketika, karena kekurangan pemain, Temul dibawa ikut menjadi figuran. Ini merupakan kesempatan yang tak mau ia sia-siakan. Ia begitu tekun berlatih sendiri di depan cermin. Baginya walaupun peran yang akan dibawakannya begitu ringan, tapi tak boleh diringan-ringankan. Seringan apapun peran yang akan dibawakannya diatas pentas, tetap akan diperhatikan dan ditonton orang.

            Setapak demi setapak ia terus melangkah kedepan. Anak muda ini tak pernah memilih peran apa yang semestinya ia lakonkan. Diajak manggung saja ia sudah sangat gembira, walaupun jadi figuran atau pemeran pembantu.

            Setiap hari ia selalu resah menanti jam latihan .  sepertinya  ia tak  sabar menunggu   wak tu. Hari-harinya tampak ceria. Semua yang ia lakukan adalah pengalaman baginya. Dia percaya tanpa pengalaman niscaya ia tidak akan mampu berbuat sesuatu yang lebih baik dikemudian hari. 

Temul Amsal, Tanjungbatu. 1980



            Dari figuran  itulah dasarnya berpijak, akhirnya ia menjadi pemeran pembantu; tokoh pendamping dan pelaku utama. Pengalaman merupakan guru terbaik yang diperoleh anak muda ini dalam meniti jenjang karirnya.

Untuk menimba ilmu Temul lebih sering bertanya kepada seniornya. Dia juga sering mem baca buku. Buku adalah guru yang tak pandai berbicara, tetapi mampu menerangkan segala ilmu dengan benar. Berbagai pengalaman yang dipadukannya dengan membaca buku, membuat ia lebih lincah dan leluasa bergerak.

Suatu sukap buruk yang ia miliki adalah perasaan tak pernah puas terhadap apa yang sudah ia kerjakan. Tetapi sikap buruk itu pula yang membuat ia lebih maju selangkah dari teman-temannya,  sehingga ia lebih dikenal.

Sikap tidak pernah puas yang ia miliki itu, membuat ia senantiasa mencari dan mencari. Ia sering tak dapat tidur bermalam-malaman karena hanya memikirkan satu adegan drama yang ia lakonkan, padahal ia bukan menjadi pemeran utama dalam pementasan itu.

Ia punya  rasa kecemburuan yang tinggi terhadap kepintaran orang lain. Karena itu tak heran kalau ia memiliki keterampilan melebihi teman-teman yang se-angkatan dengannya. Sehingga dalam perjalanan karirnya nanti, pemuda yang senantiasa resah ini, memiliki  keterampilan kompleks yang jarang dipunyai oleh setiap Seniman. Selaku teaterawan (dia seorang aktor, penulis naskah, penata pentas, penata lampu, sutradara dan pemimpin sanggar teater). Selaku penyair (dia seorang penulis sajak, penyiar & pemain sandiwara radio dan deklamator); selaku Seniman Seni Rupa (dia seorang pelukis, pembuat relief dan pemahat). Temul Amsal juga seorang fotografer dan kameramen. 

                        Di sekolah ia selalu menjadi buah bibir teman-teman. Semua guru mengenalnya. Pendek kata Temul-lah yang sering dijadikan benteng pertahanan untuk mengangkat nama sekolah itu dalam berbagai pertandingan yang berbau seni.
           
            Faktor ekonomi yang morat-maritlah yang selalu menjadi hambatan utama bagi pemuda ini dalam meniti karirnya. Tetapi ia selalu teguh dan tegar menghadapi cobaan itu. Modal hidupnya hari kehari bergantung pada keterampilan yang ia miliki. Tahun 1977 ia hidjrah ke Pekanbaru, kuliah di Universitas Riau, FK Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia (dengan nomor mahasiswa 1233).

Di kota ini ia tinggal menompang di rumah Tengku Ilyas familinya yang bekerja di Riau Hotel. Biaya kuliah tak perlu dipikirkannya. Ayahnya adalah bekas Pejuang Kemerdekaan, karena pada waktu itu bagi anak-anak veteran pejuang kemerdekaan RI tak dikenakan biaya. Baru beberapa hari mengikuti POSMA (Pekan Orientasi Mahasiswa), ia sudah dikenal  baik oleh lingkungan almamaternya. Malah sewaktu perkuliahan dimulai, oleh beberapa Dosen ia diusulkan untuk mendapat beasiswa Supersemar. Beasiswa tersebut diperolehnya sampai ia menamatkan kuliah di Perguruan Tinggi itu.

Di kampus Unri temul dan teman-temannya mendirikan 'Sanggar Sastra'. 'Sanggar sastra' inilah yang dijadikannya dasar berpijak untuk mengadakan pagelaran ke hampir semua kota di Perovinsi Riau. Dari pementasan tersebut diperoleh umpan balik, pada tahun-tahun berikutnya calon mahasiswa yang mendaftar di FK Bahasa dan Sastra Indonesia membludak. Program studinya beberapa tahun kemudian jadi faforit di lingkungan almamater dan cukup dikenal oleh masyarakat sekitarnya, malah kegiatan ‘Praktikum Sastra’ di kampus itu tercatat sampai ke Laidend Belanda. 



Temul Amsal, Iskandar Alamsyah, Mislien Asmiarti,dan Nelly
dalam lakon 'Gerhana di Indrapura' (1980)

Di luar kampus, sekitar pertengahan 1977, Temul membentuk sanggar teater ‘GEMA’. Disamping memimpin grup teater favoritnya itu, ia juga memimpin bengkel teater Dinas P dan K Kotamadya Pekanbaru (Sekitar tahun 1979 sampai 1984), Temul kelihatan semakin menyibukkan dirinya di dunia teater,   ia   mengajar  seni  peran  di beberapa sekolah menengah di kota itu. Perkuliahannya selalu tersendat-sendat akhibat pergelutannya dengan cabang seni yang dicintainya ini, karena itu tak salah kalau Ibrahim Sattah menyebut Temul dengan sebutan ‘Teaterawan Riau’ ,waktu memperkenalkan anak muda ini dengan ‘Presiden Penyair Indonesia’ Sutarji Chazoum Bahri, di Gedung Olah Seni Tangkerang Pekanbaru.(1981).

Berkat pengalaman selama melatih teater diberbagai tempat, ia menjadi lebih ahli dalam permainan ini. Dalam beberapa tahun saja ia telah memainkan puluhan naskah yang didapat nya dari teman-teman, maupun dari bank naskah Bidang Kesenian Tk.I Riau (Sayang…Bidang Kesenian Riau tak banyak mengoleksi naskah-naskah teater). Kekurangan naskah tersebut memaksa temul harus membuat naskah sendiri. Untung baginya menulis naskah bukanlah suatu pengalaman baru, karena sewaktu di bangku Sekolah Lanjutan Pertama dulu  ia sudah mulai menulis naskah untuk keperluan pementasan disana. Dalam menulis naskah Temul juga terkenal gigih. Bukan hanya disegi cerita, pesan tersembunyi yang hendak disampaikan dan bahasa yang diungkapkannya. Anak  muda ini lebih sering memperbanyak naskah dengan tulisan tangannya sendiri untuk masing-masing pelaku, karena susahnya mendapatkan mesin ketik waktu itu. Pendek kata keuletannya dalam membidangi teater yang sudah menjadi hobbinya itu sulit dicari duanya.

            Keyakinannya pada diri sendiri begitu kuat. Sikapnya dalam berkarya begitu teguh. Apa yang sudah tergambar di hati sanubarinya, cepat-cepat ia tuangkan kedalam tulisan agar sesegera mungkin dapat diketahui oleh orang banyak. Walaupun sikapnya pendiam, tapi ia tak banyak membuat pertimbangan. Baginya apa yang ia kerjakan sekarang itulah yang terbaik untuk hari ini. 
Bagi Temul, ia adalah seorang pekerja seni. Tugasnya menciptakan sesuatu, buruk atau baiknya ciptaan tersebut  terserah atas penilaian orang lain.   Karena itu tak hayal lagi 75 % dari karya pentas yang dipagelarkan oleh Temul Amsal adalah hasil buah tangannya sendiri. (dari 1970 sampai 1999 tercatat, temul mentas lebih dari 60 kali).

Temul tahan bermalam-malaman duduk membungkuk di meja tulis, menulis naskah dite ngah keremangan cahaya  lampu teplok yang senantiasa kekurangan minyak. Keunikan dan ketekunannya ini secara langsung memberikan dampak positif terhadap karya-karyanya.

Karena asik menulis naskah, Temul menjadi kurang tidur, malam-malamnya ia habiskan dengan menulis naskah.

Pertemuannya dengan Edi Basrul Intan dan Rismandijanto Sutrisno (dua orang penyiar / seniman angkasawan RRI Pekanbaru) sekitar 1980, membuka peluang yang lebih luas lagi bagi anak muda ini untuk mempublikasikan karya-karyanya guna disiarkan di RRI Stasiun Pekan baru. 



Temul Amsal - Kutai Kertanegara (2004)

Sejak itu selain untuk kepentingan pementasan, temul juga menulis naskah dalam bentuk Sandiwara Radio. Karena naskah-naskah sandiwara radio Temul dianggap bagus, RRI Stasiun Pekanbaru  memberi  kesempatan  seluas-luasnya  kepada anak muda ini untuk berkreatifitas. Pada pertengahan tahun 1982 Temul dipercayai mengasuh 2 paket siaran, yakni Drama Melayu (drama bersambung berbahasa melayu) dan Teater Angkasa (drama lepas berbahasa Indonesia). Paket siaran Drama Melayu disiarkan dua kali dalam seminggu, pada hari Selasa dan Kamis,  sedangkan  Teater Angkasa  disiarkan seminggu sekali pada tiap-tiap hari minggu. Dari kedua paket siaran tersebut, sejak pertengahan 1982 sampai 1989 ia telah menulis lebih dari dua ratus judul naskah sandiwara radio, beberapa diantaranya disiarkan pula oleh RRI Stasiun Pusat Jakarta.
 
Bermula dari bermain drama, berkat kemampuan menulis naskah dan menyutradarai yang dimilikinya, akhirnya temul menemukan sosok dirinya sendiri. Konsep-konsep lakon yang ia pentaskan punya ciri khas tersendiri. Naskah-naskahnya (terutama Ketobong dan Ketuban) yang ditulis dan disutradarainya banyak dibicarakan oleh para Tokoh Teater.

Karena dinilai amat berbakat dibidang drama dan senirupa, pada tahun 1982 Temul diambil oleh Departemen Penerangan RI untuk menjadi pegawai disana.

Bekerja di departemen milik pemerintah yang satu ini bukanlah mudah. Apalagi bagi Temul yang seorang seniman. Ia diharuskan melakukan disiplin pegawai, apel pagi dan sebagainya yang bagi dirinya terasa amat memberatkan. Apalagi  gaji yang diperolehnya setiap bulan hanya pas-pasan, malah sering kekurangan, sedangkan beban tugas yang diembannya cukup  berat. Di tempatnya bekerja, anak muda ini dipercayai melakukan tiga tugas pokok. Pertama  menyampaikan pesan-pesan pemerintah melalui seni pertunjukan rakyat yang disebut dengan “Panggung Penerangan”. Kedua, menyampaikan pesan-pesan pemerintah melalui lukisan dalam bentuk poster dan baliho. Ketiga, menyampaikan pesan-pesan pemerintah lewat siaran radio dalam bentuk paket siaran  yang  diberi nama Siaran Penerangan Daerah. Tentu tak semua pegawai yang mampu melakukan itu, kecuali orang tertentu yang punya keahlian khusus dan sudah terlatih untuk itu.       

Berat memang. Walaupun tugas tersebut di atas adalah tugas yang mulia. Untuk mengerjakannya diperlukan kecakapan khusus, keuletan, ketelitian dan daya nalar yang luas dari seorang karyawan. Tentu banyak orang yang  akan   menolak  bila   ditawari tugas semacam ini.    Pekerjaannya  terbilang berat, cepat membosankan, apalagi imbalan yang bakal diperoleh belumlah dapat dipastikan.

Tapi siapa menyangka sedikit keceriaan merona diwajahnya tatkala Temul mengetahui beban tugas yang bakal diembannya itu. Pandangan setiap orang untuk satu bidang pekerjaan tidaklah sama. Yang berat bagi orang lain mungkin ringan bagi kita, yang membosankan bagi orang lain mungkin menyenangkan bagi kita, begitu juga sebaliknya. Bagi Temul pekerjaan yang semacam itulah yang amat menggembirakan hatinya. Itu memang sudah menjadi kegemarannya. Pantas  saja ia tersenyum simpul sambil mengucapkan  kata “Alhamdulillah”, sebagai tanda rasa syukur dan terimakasihnya  kepada Allah yang telah mencocokkan pekerjaan dengan hobinya itu.

Hari-hari terus berlalu. Temul ' budak seni yang senantiasa resah'  itu tampak biasa-biasa saja menyandang predikat sebagai pegawai negeri. Selama berada di Departemen Penerangan, ia lebih banyak beroleh kesempatan memperdalam ilmu pengetahuan dibidang Seni Pertujukan dan pembuatan poster. Untuk menjadikan ia trampil dibidang pekerjaannya, atasannya selalu mengu tus Temul untuk mengikuti bermacam-macam diklat ke Jakarta, sesuai dengan bidang tugas yang dibebankan kepadanya.

Disamping bekerja, Temul tetap aktif melakukan kegiatan  berkesenian, melaksanakan kuliah,  malah oleh Dra. Saidat Dahlan (ketua Jurusan bahasa dan santra indonesia) ia ditunjuk menjadi Asisten Dosen Luar Biasa Jurusan Bahasa dan Seni, Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP di Laborat rium Bahasa Universitas Riau untuk  mata kuliah Praktikum Sastra.

Pendidikan berpentas yang pernah ditempuhnya antara lain: Diklat Sosio Drama (Jakarta 1984), Diklat Seni Pertunjukan Rakyat (Jakarta 1986), Diklat Seni Pertunjukan Pola Bagong Kusudiarjo ( Jakarta 1987). Penataran Panggung Penerangan (Jakarta 1989), disamping itu juga banyak mengikuti seminar dan sarasehan kesenian di berbagai tempat sejak 1977 sampai sekarang.



Temul Baca Sajak- TIM Jakarta (2006)


MENGUNGKAPKAN JATI DIRI LEWAT SAJAK

            Sejak di bangku Sekolah Dasar anak muda ini suka berdeklamasi. Dalam membaca sajak ia lebih gemar memilih sajak-sajak yang ditulis oleh Khairil Anwar, beberapa sajak Amir Hamzah, terakhir ia lebih suka kepada sajak-sajak Sutarji Calzoum Bahri dan Ibrahim Sattah. Baginya sajak-sajak Penyair tersebut dapat meluahkan emosinya sebagai pembaca.

            Terus terang dikatakan bahwa pemilihan sajak yang sesuai dengan jiwa pembacanya akan menciptakan bacaan yang lebih baik. Temul merupakan salah seorang pembaca sajak terbaik yang cukup diperhitungkan bagi teman-teman seangkatannya.

Dalam membaca sajak ia menemukan jati dirinya sendiri. Gaya bahasa dan ucapan kata yang dilontarkannya penuh pesona dan memiliki karakteristik tersendiri, sehingga membuat perbedaan dirinya dengan pembaca lain. sehingga ia lebih dikenal dan sering diundang pada acara-acara resmi.

Setiap  kreator   mempunyai  langgam  proses penting pada karya-karyanya yang tersendiri. Terkadang terlihat sama, tapi dalam persamaan itu tergurat perbedaannya, yang dapat membedakan antara satu seniman dengan seniman lainnya. Perbedaan dalam persamaan itulah terkadang banyak kurang diperhatikan orang.

            Lain halnya dengan membuat naskah, Menulis sajak baginya adalah suatu kepuasan tersendiri. Kata-kata yang dituangkan dalam bentuk ‘seni untuk seni’ ini punya roh dan dapat meluahkan emosi. 


Temul Amsal dan Nazrah Almadanie (1978)

            Sajak bukanlah ungkapan kata yang mudah untuk diterjemahkan oleh semua orang. karena setiap unsur yang ada di dalamnya perlu dicerna lebih mendalam untuk dimengerti. Karenanya sebuah sajak tidak dapat diterjemahkan dalam bentuk prosa.

            Temul menulis sajak menggunakan kata-kata / bahasa yang berada lebih dekat dengan dirinya, sehingga idiom-idiom yang mengental atas sebuah kata atau bahasa yang diperguna kannya amat jelas untuk diekpresikan. Temul begitu jeli dalam memilih kata-kata, ia tak mau berada terlalu jauh. Dalam mengekspresikan dirinya ia selalu menggunakan kata-kata yang cocok untuk pengucapannya.

Dalam keseharian ia tidak banyak berkomentar, kecuali menerima masukan berbagai sumber pengetahuan dan pengalaman yang diceritakan seniornya seperti Ibrahim Sattah, BM. Syams, Idrus Tintin, Taufik Efendy Aria, disamping Leon Agusta dan Sutarji Calzoum Bahri yang presiden penyair  itu.




BERGELUT DI DUNIA SENI RUPA

            Bagi Temul berkecimpung di nunia seni rupa sudah tak asing lagi, karena cabang seni yang satu ini memang sudah mendarah daging baginya. Sejak di sekolah dasar ia sudah sering diberi tugas untuk membuat tiruan gambar pahlawan nasional sebagai hiasan dinding . Ketika ia di sekolah menengah banyak guru-guru yang menyenanginya karena hobbinya yang satu ini.
            Ia disenangi  para guru bukan hanya karena hasil lukisannya yang indah itu menghiasi dinding kelas tempatnya belajar, tetapi karena keterampilan ganda yang ia miliki. Selain melukis ia juga mahir menata taman, memahat ukiran, membuat patung dan membuat lukisan tiga dimensi (relief).

            Anak muda yang menggemari aliran naturalis ini melukis secara alami ‘tanpa guru’. Ilmu mendalami pengetahuan dalam hal lukis melukis didapatnya dari melihat buku-buku lukisan  Katthe Kollwitz; Alte Meister; Johan Christian Dahl; Ludwig Richter dan Pablo Picasso yang dikirimkan oleh adiknya Tengku Nurhidayah yang waktu itu kuliah di Giessen Jerman.

            Temul sering mengadakan Pameran Seni Rupa dengan teman-teman senimannya di beberapa kota di Indonesia. Malah dalam pameran lukisan kaligrafi Provinsi Riau tahun 1993, lukisan kaligrafinya sempat menarik perhatian banyak pengunjung.
           
Akhir tahum 1995, dilaksanakan Pameran Seni Rupa se-Sumatera yang bertempat di Museum Daerah Sang Nila Utama, Pekanbaru. Pada waktu bersamaan Temul Amsal beroleh kesepatan pula menggelar pameran tunggalnya pada acara Dialog Selatan II, waktu itu Temul memamerkan sekitar 30 lukisan terbarunya di ruangan elit Balai Dang Merdu. Karena kesibukan Pameran Tunggalnya itu, pada Pameran Lukisan Se Sumatera Temul hanya memajang dua buah lukisannya yang berjudul “Perempuan Mandi” dan “anak-anak suku talang”. 

Ternyata lukisan Temul banyak diminati oleh kolektor dari negara tetangga terutama  Ma laysia dan Singapura.

--------------





BEBERAPA PENGALAMAN UNIK

Pernah suatu ketika  (1972)  Temul masih di sekolah lanjutan Pertama, ia diberi naskah suatu lakon drama oleh sanggar “Balai Artis” untuk suatu lomba teater. Karena tengah menghadapi ujian dan berbagai kesibukan, Temul tak mungkin menghadiri latihan bersama. Untuk itu ia hanya diminta menghapal naskah dan menghayati perwatakan peran yang diperuntukkan kepadanya. Secara kebetulan pada malam pementasan itu Temul datang agak terlambat, sehingga ia tak sempat bertemu muka dengan seluruh kawan mainnya. Diatas pentas. Saat lakon dimulai. Alangkah terkejutnya ia, tatkala ia berdialog dengan teman mainnya,  (Elly) seorang wanita cantik yang tak pernah ia duga sama sekali. Wanita cantik itu adalah guru idolanya di kelas. Guru idolanya itu tak pernah bercerita bahwa dirinya pandai bermain drama dan sedang mengikuti latihan drama untuk pementasan pada malam itu. Sebaliknya Elly yang bertubuh semampai itupun terlihat gugup. Iapun tak menyangka bahwa pada malam itu, diatas pentas, dia bakal dipertemukan dengan anak didiknya yang menurut cerita teman-temannya ahli berlakon, namun sebagai guru honor yang belum sampai sebulan di tempat itu, dia memang belum pernah menyaksikannya.


Syafrial Syamsuddin, Temul, Mislien dan Abd Malik
dalam lakon 'Telegram' (1984)

            Waktu di SMA (1975) Setelah latihan hampir sebulan, sehari sebelum pementasan Temul diserang batuk parah. Ketika melakukan latihan terakhir ia tak ikut naik panggung. Ia duduk saja di kursi, mukanya pucat dan tak dapat berbicara (karena batuk berkepanjangan). Ahmadsyah, gurunya yang tamatan Sekolah Tinggi Olahraga itu (tetapi hobby dan pandai bermain drama) tampak kecewa dengan penderitaan anak muda ini. tapi apa boleh buat, peran  yang Ia bawakan ‘berdasarkan kasting’ itu tak mungkin dapat digantikan oleh orang lain. Guru olahraga dan kesenian yang terkenal ‘‘bengis’ itu tak dapat marah, karena ini memang penyakit dan bukan hal yang dibuat-buat. “Apa yang akan terjadi terjadilah” pikir Ahmadsyah sambil menyapu keringat yang mengalir di wajahnya. Kendati begitu ia tetap berdoa, mudah-mudahan saja pada waktunya nanti, penyakit batuk yang diderita pemain utamanya itu sedikit mereda.

                Pementasan SMA 307 yang salah satu pemeran utamanya adalah Temul, pada malam itu tepat pada giliran kedua. Kekecewaan kembali mengerogoti hati sanubari Ahmadsyah si guru olahraga dan kesenian yang biasanya ceria itu. Akibatnya  lelaki separoh baya itu tak sanggup lagi membusungkan dada di hadapan khalayak sebagai mana biasa ia lakukan. Kalau selama ini ia selalu bangga dengan kemampuan anak didiknya itu, kali ini ia hanya menunduk lesu, kemudian berdiri,  mondar mandir dari sudut kesudut ruangan.

Di belakang pentas Temul terus terbatuk-batuk dan muntah-muntah. Pementasan pertama dari grup kesenian SPG berakhir dengan tempik sorak penonton menyemarakkan suasana. Dengan perasaan yang amat kecewa Ahmad Syah bergegas kebelakang pentas. Permainan kedua sudah dimulai, Temul masih terbatuk-batuk. Sampai pada saatnya, dengan wajah memerah, guru kesenian itu menangkap tangan Temul, serta merta mendorong anak muda itu ke dalam arena permainan. Dorongan guru yang  bertubuh kekar dan sudah bertahun-tahun melakukan latihan rutin berbagai ilmu seni bela diri itu begitu kuat. Temul masuk ke arena permainan. Tak dapat Ia memperlambat langkahnya,  Di tengah-tengah pentas anak muda ini sempoyongan dan jatuh tertelungkup. Bersamaan dengan itu terdengar riuh tempik sorak penonton. Membahana mengisi ruangan.


Temul  dalam lakon " Misteri Tanjung Pembunuh " 1981

           Adegan yang sama sekali tak diduga-duga ini amat mengagumkan hadirin yang menyaksi kannya saat itu. Tempik sorak bergumam menjadi satu. Temul (yang waktu itu membawakan perwatakkan seorang tua) bangkit dengan perlahan, mengusap-usap persendiannya. Sesekali ia mengerang kesaskitan. Suasana menjadi hening. Temul merasa pancingannya mengena, improvisasinya berhasil menyugesti penonton. Dengan gerakan halus ia coba menggabungkan mofemen dan gustur yang tak disengaja  itu dengan adegan sesungguhnya sebagaimana saat ia dan teman-temannya melakukan latihan acting di sekolah. Pikirannya betul-betul tercurah pada watak sang tokoh yang ia lakonkan. Selaku seorang pemain yang sering mengadakan latihan, ia tak mau kalah saing dengan pemain-pemain lain, grup yang dipimpinnya harus berada di atas angin, mereka harus menang. Untuk itu ia harus secermat mungkin memimpin teman-temannya diatas pentas agar mereka mampu menunjukkan sesuatu yang terbaik yang dapat memukau penonton.

            Permainan pada malam itu berlangsung dengan seru. Adegan demi adegan mereka jalani dengan seksama. Sampai pada pada tahap akhir, tepuk sorak penonton membludak lagi, mengakhiri pementasan malam itu.

Temul dan kawan-kawannya berhasil. Permainan pada malam itu begitu mempesona dan diakhiri dengan rasa puas bagi penggemarnya. Layar ditutup. Temul tampak lelah berman dikan keringat. Ahmadsyah menyalaminya dan memeluknya, mengangkat dan membaringkan Temul diatas meja.  Beberapa orang teman mengipasinya dengan lembaran karton. Anak muda ini kembali terbatuk-batuk seperti semula. Semua teman yang mengetahui kesehatannya terheran-heran, mengapa waktu berada di areal permainan tadi batuknya jadi hilang, setelah itu kumat lagi.
   
            Masih sekitar dunia perteateran. Pada pertengahan 1978, sewaktu Temul mentas di Auditorium Universitas Riau. Ketika penonton sudah mulai berdatangan, beberapa saat kemudian Temul sampai disitu.  Anak  muda   ini   langsung menuju kebelakang pentas untuk melihat berbagai persiapan. Alangkah terkejutnya ia ketika disadarinya bahwa berbagai perleng kapan untuk mentas pada malam itu (seperti busana dan sebagainya) tak ada satupun yang tersedia. Ini adalah gara-gara keasikannya menata pentas sehari semalam tanpa istirahat. Tanpa berpikir panjang Temul langsung berlari menuju rumahnya untuk mengambil bahan-bahan yang memang sudah dipersiapkannya sejak lama. Melihat Temul berlari, Ubai dan Mahyuddin mengikuti berlari dari belakang, padahal jarak rumahnya dengan tempat pementasan tersebut ada sekitar 4 kilometer pulang pergi. Maklumlah kehidupan mahasiswa pada masa itu amat miskin, tak punya kendaraan seperti umumnya mahasiswa sekarang. Akhirnya dengan tubuh yang penuh keringat, pementasan malam itu berhasil juga mereka selesaikan.

            Temul juga pernah menulis beratus-ratus undangan dengan tulisan tangan dan melukis sampul undangan tersebut satu persatu dengan tangannya sendiri untuk suatu keperluan pemen tasan di kampusnya. Pendek kata keuletannya dalam seni menyeni ini memang tak ada duanya.

           Tak heran kalau RRI Stasiun Pekanbaru memberikan kepercayaan seratus persen padanya untuk mengasuh paket siaran Drama Melayu (drama bersambung). Padahal dalam membuat naskah drama tersebut dia juga punya keunikan tersendiri. Naskah bersambung yang disiarkan 2 kali seminggu itu bukan diselesaikannya sekaligus. Temul memikirkan dan mengetiknya pada setiap malam sebelum drama tersebut direkam. Pernah ketika ditanya oleh rekan-rekan di RRI bagaimana kelanjutan cerita yang dibuatnya itu nanti, dengan senyum Temul menjawab “ dengarkan saja siaran berikutnya”.




kliping koran tentang Temul Amsal



KARYA - KARYANYA

            Karya-karyanya yang pernah dipublikasi kan antara lain : Catatan Resah (sajak-1980); Puisi Pekanbari’80 (antologi puisi); Empat Berseru  (antologi 1982);  Blak-Blak Duka (antologi puisi- 1983); Bahang (antologi puisi- 1984); Lena (sajak bersama Dasri Al-Mubari-1986); Sair Orang Orang Pinggiran (sajak bersama Dasri Al-Mubari 1991); Menggantang Warta Nasib (sajak bersama penyair Riau- 19…) ; Dongeng Buat Rega ( sajak 2002); Kumpulan Sajak Riau Satu ke 2 (2001) ; Menggapai Matahari (sajak 2002); Sejak Pelalawan Jadi Kabupaten (sajak-2002); Jalan Bersama (antologi sajak-2006);Senja Membawa Maut (drama-1975); Nutung Kembar (drama 1978);  Ayahku Petani Desa (drama –1978); Gerhana di Indrapura (drama-1980); Keris Sebagai Saksi (drama-1980); Misteri Tanjung Pembunuh (drama-1981); Gelombang (drama-1981); Kemantan Karim (drama-1982); Misteri Pulau Penyamun (drama-1982); Secarik Koran Usang (sinetron televisi-1983); Lantera (drama-1984); Lanun Pulau Batu (drama-1985);  Ketobong (drama-1984-86-89); Ketuban (drama 1985-1991); Tuk Awang Pahlawan Dusun (drama 19885); Serikat Hantu Kubur (drama 1985); Telegram (drama-1986); Inai Berdarah (drama-1988); Puang (drama-1985-1990); Kau (dramatisasi puisi 1988); Buih-Buih Pasang (sinetron televisi-2000); Rimba Sialang (sinetron televisi-2000); Anak Penjual Putu (drama anak-anak-1991); Putri Lindung Bulan (Kumpulan Naskah Drama Provinsi Riau-2003); Tali Belati (sinetron televisi-bersama Boma-1988); Membuka selubung Biru (film Doku menter Objek Wisata Provinsi Riau 1988) dan banyak lagi yang tak tercatat.  Sejak 1982 sampai 1989 Temul telah mempublikasikan pula tak kurang dari 200 judul naskah sandiwara radio melalui beberapa stasion radio siaran.

            Catatan ini ditulis berdasarkan karya-karya beliau yang dapat kami kumpulkan, sebagian dian taranya dikutip melalui undangan / selebaran / kliping Koran yang diperoleh melalui arsip berbagai kalangan / kolektor seni di beberapa tempat. Kebanyakan dari naskah-naskah drama yang ditulis Temul Amsal didapat dari para pemain teaternya yang pernah memerankan cerita tersebut. Sedangkan si pembuat naskahnya, yaitu Temul Amsal sendiri tak pernah terpikir untuk  menyimpan karya-karyanya itu.

-----------------




Tidak ada komentar: