Selasa, 28 Februari 2012

Naskah Drama Temul Amsal




sinopsis cerita


“LANCANG KUNING”


                Lancang Kuning adalah Lancang kenaikan Datuk Laksemana. Sebuah perahu yang dibuat khusus untuk  pimpinan tertinggi di Bukit Batu.

Setelah Lancang selesai dikerjakan, dilakukan suatu upacara untuk menurunkannya kelaut. Namun  Tuhan berkehendak lain. Walaupun beratus-ratus tenaga telah dikerahkan untuk menariknya, namun perahu tersebut tetap saja berdiri kaku diatas galangannya, padahal semah laut  (sebagaimana tradisi masyarakat disana waktu itu) sudah dilakukan.

Menurut Kemantan (dukun / bomo) harus dikorbankan seorang perempuan hamil muda. Datuk Laksemana menantang hal itu karena bertentangan dengan ajaran agama.  Bagi Datuk Laksemana nyawa rakyatnya jauh lebih berharga dari sebuah Lancang yang bakal dijadikan lambang kebanggaan negeri itu.

Pada suatu malam, secara sembunyi-sembunyi Panglima Hasan menculik Zubaidah (isteri Panglima Umar sahabatnya sendiri) karena dendam asmara yang tak kesampaian. Zubaidah yang sedang hamil muda itu jadi korban keserahan dan kebiadaban sahabat suaminya sendiri.

Panglima Umar yang baru pulang dari peperangan, tanpa usul periksa, menuduh Datuk Laksemanalah yang melakukan pembunuhan terhadap isterinya. Hal ini mengakibat kan terjadinya suatu tragedi yang amat memilukan.



                                                             syair naskah

           
                                                            Lancang Kuning

                                                  Lakon ini kami sembahkan
                                                  Kepada hadirin penonton budiman
                                                  Cerita rakyat penuh teladan
                                                  Kesah sejarah jadi pedoman

                                                  Lancang kuning nama perahu
                                                  Kanaikan Laksemana dibukit batu
                                                  Perahu tempahan susah ditiru
                                                  Bentuknya indah elok terlalu

                                                  Suatu hari Datuk Laksemana
                                                  Hatinya sedih gundah gulana
                                                  Rakyatnya letih menguras tenaga
                                                  Lancang tak turun dari galangnya

                                                   Seorang panglima bernama Hasan
                                                   Berbuat nekat mengkhianati teman
                                                   Isteri Umar dijadikan korban
                                                   Menurunkan lancang ketengah lautan

                                                    Umar marah bukan kepalang
                                                    Ia mengamuk sambil meradang
                                                    Menuduh Laksemana berbuat curang
                                                    Melampiaskan dendam tanpa ditimbang


                                                                        --------




                                                para pelaku
                                                          -------------------------------------------

                                       -          Datuk Laksemana
                                       -          Panglima Umar
                                       -          Panglima Hasan
                                       -          Batin
                                       -          Kemantan
                                       -          Badul
                                       -          Zubaidah
                                       -          Seri Utih
                                       -          Awang
                                       -          Alang
                                       -          Orang-orang kampung


---------------





“LANCANG  KUNING”
                                                                   naskah : temul amsal
---------------------------------------------------------

            Pentas  : Hamparan pasir putih, diselingi beberapa bongkah bebatuan besar. Disalah satu sisi, terdapat sebuah pondok kecil beratapkan rumbia (pos penjagaan) dengan latar belakang sebuah perahu layar berwarna kekuning-kuningan yang masih berdiri kokoh diatas galangannya, sayup-sayup tampak sebuah pulau kecil menyembul dari permukaan laut. Musik lembut mengalun mengisi kesunyian, sesekali diselingi Gemuruh ombak dan cicit camar yang beterbangan mencari makan.





PEMBUKAAN

            Sudah sejak tadi orang-orang asik melakukan upacara membuang semah. Yakni dengan melakukan gerak- gerak ritual ( tari tradisi ) dibawah pimpinan Kemantan. Kemudian secara serentak mereka berteriak sambil menarik lancang tersebut dengan sekuat tenaganya.



SESEORANG
Satu…dua…tiga

ORANG-ORANG
Heeaaaaach

(diulangi beberapa kali)

Orang-orang itu tampak kelelahan. Keringat mengucur menbasahi tubuh mereka.

01
KEMANTAN
Sudah !  kalian sudah terlalu lelah.
Istirahatlah dulu.

Orang-orang menuruti perintah Kemantan. Mereka berhenti. Istirahat melepaskan lelah (ada yang membaringkan tubuhnya, ada yang minum, ada yang memakan sesuatu, ada yang duduk sambil mengipas-ngipasi tubuhnya dan adapula yang berbual-bual kecil sesamanya). Lampu padam.


                                    SATU


            Malam itu angin berembus pelan. Cahaya rembulan ditutupi awan. Dua buah lantera yang menyala sengaja digantungkan pada disisi pondok. Bunyi binatang malam yang sesekali diselingi deburan gelombang kedengaran mengisi kesunyian. Awang dan Alang yang mendapat tugas jaga pada malam itu sudah sudah lama berada di sana. Alang meneguk kopi panas dari sebuah tempat minuman yang berada di depannya. Tak berapa lama kemudian Awang datang menghampiri.

01
AWANG
Tidurlah kau dulu, sekarang biar aku yang jaga.
Besok tenaga kita masih diperlukan.
02
ALANG
Mataku tak mau dipejamkan,
lagi pula, hari masih terlalu senja.

            Awang mengambil sesuatu dari sebuah mangkok yang terletak tak berapa jauh darinya. Sambil memakan benda yang diambilnya tadi ia menambahkan minuman pada tempat minumannya yang sudah kosong. Tak berapa lama berselang Datuk Laksemana masuk diiringi oleh Batin, Panglima Hasan dan Kemantan.

03
DATUK LAKSEMANA
Bagaimana keadaan kalian?

04
BADUL
Aman-aman saja, Datuk

05
DATUK LAKSEMANA
Syukurlah.

06
BATIN
Negeri ini, senantiasa aman, Laksemana.
Tak ada tipu daya dan sengketa
Tak ada rasa iri dan dengki
Tak ada yang mau menang sendiri

07
DATUK LAKSEMANA
Alhamdulillah. Begitulah hendaknya.
Negeri aman perasaan nyaman
Rakyatnya bekerja dengan tenang
Tanpa dihantui rasa cemas dan bimbang.

08
BATIN
Betul, Laksemana. Bukit Batu ini negeri bertuah
Tanahnya subur rakyatnya makmur
Hanya…Masih ada sesuatu
yang mengganjal dipikiran hamba


09
DATUK LAKSEMANA
(memotong)
Apa yang mengganjal dipikiranmu, Batin ?

10
BATIN
Ada kayu yang belum ditarah, Laksemana
Ada bungkal yang belum diasah
Lancang Kenaikan Laksemana itu
sampai hari ini, belum turun-turun juga.


11
DATUK LAKSEMANA
(senyum sambil ketawa)
yang haluan di kedepankan
yang bijak di ketengahkan
yang pandai kita kemukakan
yang patut kita patutkan
Itu Urusan Kemantan, dialah yang lebih tau.

12
KEMANTAN
Iya, Datuk
Hamba tetap seperti dulu.
Taat pada petuah
Setia pada sumpah

Terasa ringan hamba jinjing
Terasa berat hamba pikul
Perintah Datuk Laksemana tetap hamba jalankan
Rencananya pasang petang esok
akan kami tarik lagi lancang itu bersama-sama

13
DATUK LAKSEMANA
Jangan.
Mereka sudah terlalu lelah.
Beri kesempatan agar mereka bekerja
menafkahi anak isterinya.

14
PANGLIMA HASAN
Mengapa begitu, Laksemana
Bukankah lebih cepat lebih baik.
Dari berkayuh baik berdayung
Dari berjalan baik berlari
Agar nak lekas ketujuan
Hajat sampai kerja selesai.

15
DATUK LAKSEMANA
(senyum)
Tak baik memburu langkah, Panglima
Tiap sukat punya takaran
Tiap ukuran punya batasan.
Kalau kita mampu bersabar
Semua simpai akan terungkai
Semua simpul akan terpucul
Hajat dihati terkabul juga

16
PANGLIMA HASAN
(agak tersipu malu)
Maafkan hamba, Laksemana

17
DATUK LAKSEMANA
Darah muda memang begitu. Selalu terburu nafsu.
Mati gajah karena gading
Mati harimau karena belang
Kalau tak hati hati bila melangkah
Kaki tersandung, badan binasa
Ingat itu !.


            Datuk Laksemana tampaknya tak mau berlama-lama. Dengan senyum Orang tua itu mengayunkan langkahnya meninggalkan tempat itu. Kemantan dan Batin mengikuti dari belakang. Panglima Hasan cepat-cepat menarik tangan Batin, membuat lelaki separoh baya itu terpaksa menahan langkahnya........................(dst).


                                                                                   (temulamsal@gmail.com)
                                                                                                                   




 




puang



Naskah    : Temul Amsal
                        Produksi  : Teater “GEMA” pekanbaru

---------------------------------------------------------------

        Tidak diketahui kapan lakon ini dimulai. Sewaktu para undangan masuk, mereka langsung menyaksikan kesibukan di arena permainan.

            Para pemain, tanpa menghiraukan para undangan, terus saja melakukan pekerjaan mereka. Ada yang menyobek-nyobek kain hitam; ada yang menyusun dan memotong-motong pelepah rumbia; ada yang menjalin pucuk kelapa; ada yang memadatkan lilin lebah; ada yang membuat beras kunyit, beras basuh, bertih dan sebagainya. Peristiwa ini berlaku seolah-olah sebagaimana layaknya suatu kesibukkan dalam mempersi apkan perlengkapan pengobatan tradisional.

Pembawa Acara dari Televisi Brunei



satu

            Upacara persiapan pengobatan Puteri Gemala terus berlangsung. Dimana sang Puteri yang cantik jelita itu, di salah satu sisi dihadirkan dalam keadaan lesu (sederhana, murung, kurang semangat).

            Dalam suasana ramai begitu, tiba-tiba lampu mati (sengaja diciptakan sedemikian rupa, seolah-olah adanya gangguan listrik). Suasana tampak sedikit kacau. Orang-orang mulai sibuk. Ada yang menyalakan korek api; ada yang mondar mandir mencari dan membawa lantera; ada yang berseru “pasang suluh” dan sebagainya dan sebagainya.

            Seseorang muncul ketengah-tengah hadirin membawa suluh.



 SESEORANG

Keadaan ini sama sekali diluar dugaan
satu yang perlu diingat
sebagaimana yang dibisikkan Kemantan kepada saya
Apapun yang terjadi di ruangan ini
tak seorangpun diantara kita
diperbolehkan meninggalkan tempat duduknya masing-masing
kecuali dengan seizin Kemantan.


            Dalam keremangan itu, segala sesuatu yang dikerjakan oleh orang-orang tadi tampak sudah selesai, ancak-ancak, balai-balai dan lancing sudah diletakkan ditempatnya. Gendang mulai ditabuh.Orang-orang bersenandung. Diantaranya ada yang berdiri melangkah mengikuti irama gendang dengan gerakan sumbang (tampak seperti kesurupan). Di tengah-tengah mereka Kemantan membaca mantera dengan suara serak dan patah-patah ( tak dapat ditangkap artikulasi bahasanya oleh pendengaran telinga).

            Tak lama kemudian lampu mendadak terang. Hiruk-pikuk hilang seketika, suasana tenang dan lengang.





kedua


            Seseorang masuk tergopoh-gopoh, memberikan selembar surat kepada Alang Loma. Alang Loma bersikap seperti membaca. Lampu focus pada Alang loma.






RAJA KIAP

(out of scene)

Alang Loma…..!
Surat ini sebagai tanda hormatku padamu
Kita lahir dibesarkan di kubangan yang sama
Kau ingat itu ?

Alang Loma….!
Aku tahu kau membenciku
Aku maklum, kau takkan pernah merestui permintaanku.

Tapi, ketahuilah !
Saat ini aku menduduki kursi singasana.
Aku Rajamu, Alang Loma !

Ingin ku sampaikan padamu tentang cerita Raja-Raja.
Tentang kemegahan istana
Tentang 'Taman Sari' yang penuh aneka “bunga”.
Harum…. Mewangi… Penuh pesona

Tapi, aku gagal.
Putraku jelaka, tak tertarik meraup kuncup di taman itu.
Sebaliknya ia memintaku, memetik “Kuntum Wangi” yang kau simpan.

Malam ini, aku datang menemuimu. 
Meminang putri Gemala, 
untuk dinikahkan dengan Jelaka, putra kesayanganku itu.


            Alang Loma tersentak. Lelaki itu sedikit kaget, kesal, serta merta ia merobek surat yang tergenggam di tangannya. Orang-orang sekitarnya tak begitu memperhatikan, 
mereka asik pada pekerjaan mereka. Puan Suri memungut sobekan itu 
 berusaha memahami isinya.




PUAN SURI

Mudah-mudahan dia tak datang malam ini.

ALANG LOMA

Si Kiap takkan pernah mengingkari janji
Jika mulutnya sudah berkata
Ia pasti menghulur langkah

PUAN SURI

Kalau ia dating, bagaimana sikap kanda ?

ALANG LOMA

Itulah yang mengganggu pikiranku.

PUAN SURI

Gemala sedang sakit.
Anak itu mengalami tekanan batin yang amat berat.

ALANG LOMA

Aku tahu itu.

PUAN SURI

(sedikit keras)
Semua yang hadir di sini  juga tahu.

ALANG LOMA

Iya.
Jiwanya beronta
Sulit sekali baginya untuk mengendalikan diri.

PUAN SURI

Apa yang mesti kita lakukan ?

ALANG LOMA

Kita sedang berusaha.
Seperti yang kau lihat sekarang.
Segala peralatan sudah disiapkan
Tinggal menunggu kedatangan Kemantan.

PUAN SURI

Selain itu apa usaha kita ?

ALANG LOMA

Kita hanya mampu berdoa. Memohon berkah pada Yang Kuasa.

PUAN SURI

Hanya itu ?

ALANG LOMA

Buat sementara, hanya itu kemampuan kita.

PUAN SURI

Doa tanpa usaha, hasilnya sia-sia.
(sedih) 
Dimana letak kasih sayang kanda.
Dimana tanggung jawab kanda selaku ayah.
Sampai hatikah kanda melihat puteri kita menderita ?

ALANG LOMA

(agak kesal)

Puan Suri ..!
Seekor srigala laparpun tak akan mengerkah anaknya sendiri.
Apatah lagi kita manusia.



PUAN SURI

Tapi, mengapa kanda tak juga berusaha.

ALANG LOMA

Sekarang kita dihadapkan pada dua kenyataan.
Kita berdiri tepat di tengah-tengah dua persimpangan.
Penuh liku dan jurang.

PUAN SURI

Tetapkan pikiran kanda.
Pilih satujalan terbaik buat keluarga kita.

ALANG LOMA

Itu sudah pasti, dinda. Pasti…!
Kita menanti kesempatan tiba.

PUAN SURI

(sedikit emosi)

Kesempatan sudah ada.
Jalan sudah terbuka.
Hanya kanda yang selalu ragu.


ALANG LOMA

Tak baik terburu-buru, Puan Suri !
Walau kita tahu jalan mana yang mesti dilapah,
Lumpur mana yang mesti dilanyah.
Segala sesuatunya mestilah dengan penuh perhitungan.

PUAN SURI

Mengapa kanda ragu.
Bersikaplah seperti perahu.
Untuk mencapai tujuan, ia tak pernah diam.
Kadangkala menongkah pasang, mengharungi lautan,
menghadang gombak, badai dan topan


ALANG LOMA

Puan Suri.
Sejak pasang menenggelamkan pulau,
alur hilang beting menghadang
kini
sumpah jadimainan
janji menjadi gurauan
aku tak mau perahu kita kandas ditengah lautan.

PUAN SURI

O, begitukah
Jadi….kanda terima pinangan Jialaka ?

ALANG LOMA

Kanda piker, cara inilah yang terbaik.

PUAN SURI

Dalam keadaan begini ?

ALANG LOMA

Iya.

PUAN SURI

Kanda…!?

ALANG LOMA

Kenyataan ini mesti kita terima, dinda.

PUAN SURI

Adat mana yang kanda pakai.
Budaya mana yang kanda semai.

ALANG LOMA

Aku tak mendalami soal itu.
Tapi percayalah ! manfaatnya pasti ada.

PUAN SURI

Terlalu menjijikkan.
Menapak di tanah Lumpur, telapak hilang jejak tertinggal.
Menyembunyikn amarah di depan lawan,
sikap keji yang tak terpuji.

ALANG LOMA

Aku lelaki, Puan Suri.

PUAN SURI

Seorang lelaki, senantiasa membusungkan dada.
Berkata jujur dan setia.


ALANG LOMA

Kejujuran tak lagi punya arti
Kesetiaan tak lagi punya makna

Kini semua sudah berubah
Yang melempar, menyembunyikan tangan
Yang berkata, menyembunyikan lidah.

PUAN SURI

Justeru itu kita harus tetap pada pendirian.
Mana yang tegak ditegakkan
Mana yang duduk didudukkan
Kanda dengar itu ?

ALANG LOMA

Aku mendengarnya.

PUAN SURI

Tapi mengapa tak dipahami.

ALANG LOMA

Aku paham, Puan Suri. Aku paham.

PUAN SURI

Kalau begitu mengapa ragu.

ALANG LOMA

Menolak permintaan Raja,  
sama dengan menghempaskan kaca kemuka. 
Kita sendiri yang terluka.


PUAN SURI

Mati membela kebenaran, jauh lebih terpuji,
dari hidup memendam dendam.


ALANG LOMA

Sudahlah !
Tabahkan hati, lapangkan dada.
Sebentar lagi upacarapengobatan akan dimulai.

PUAN SURI

Sebentar lagi Raja Kiap akan dating, Kandsa.

ALANG LOMA

Kalau dia dating kita sambut dengan senyuman.

PUAN SURI

Tidak, Kanda. Tidak. Dinda muak melihat mukanya.

ALANG LOMA

Tenanglah !  Biar kanda yang bicara.
Dinda pergilah bersembunyi !

PUAN SURI

Bersembunyi ? 
Bukankah itu ucapan perempuan.

ALANG LOMA

Suara perempuan yang keluar dari mulut seorang lelaki, akan lebih terpuji 
dari perempuan itu sendiri yang meneriakkan suara jantan.


PUAN SURI

Ungkapan yang memalukan. Sungguh menjijikan.

ALANG LOMA

Kita rakyat, Puan Suri. Sadarilah itu.

PUAN SURI

Seekor kucing peliharaanpun akan marah, 
jika dipaksa menjilat nanah yang mengalir dikaki tuannya

ALANG LOMA

Kau terlalu berburuk sangka, Puan Suri.

PUAN SURI

Kanda  !
Si pendurhaka itukah yang kanda bela.
Panglima zalim itukah yang kanda sembah.
Sultan Syah Alam dibunuhnya.
Tahta kerajaan dirampasnya.
Perbuatan itukah yang dibangga.




ALANG LOMA

(berusaha membujuk)

Keselamatan Gemala itulah yang utama. 
Lagi pula Raja Kiap itu saudara seperguruan kanda. 
Antara kanda dan dia masih punya tali ikatan.

PUAN SURI

Persaudaraan mana yang kanda bina.
Ikatan mana yang diketatkan.
Teman mencencang dari belakang, dapatkah disebut kawan.
Tali ikatan penjerat diri, tidakkah pantas buat ditetas.

ALANG LOMA

(tenang)
terlanjur turun ke air, kita tak mau langsung tenggelam.

Kita tak punya kekuatan kini.
Sampan ada, pendayung tidak.
Jalak dikandang lah terbang
Hilang di gelap malam.

PUAN SURI

Alang Loma …!

ALANG LOMA

Jangan  sebut nama itu.
Alang Loma takkan berdiri, tanpa si Jalak di pundaknya.

PUAN SURI

Alang Loma!!   
Denak Jantan .
Lahir di kubangan, besar di tengah gelanggang.
Tunjukkan keperkasaanmu !!!

ALANG LOMA

(bersaha menahan emosi)
keperkasaanku sudah tenggelam
kesetiaanku sudah terpendam.

PUAN SURI

Serendah itukah, suara si Denak Jantan.
Selemah itukah Alang Loma, 
panglima kepercayaan Sultan Syah Alam


ALANG LOMA

(pasrah)

Hari semalam telah mati, Puan Suri. Tak baik untuk dikenang.

PUAN SURI

(dengan nada rendah)
Namun ia tetap hidup disanubari kita, Kanda.
Terlukis dilubuk hati yang dalam.

ALANG LOMA

Entahlah. 
(pause).
Panglima tanpa Raja, bagaikan parang kehilangan mata.
Panglima tanpa Sultan, bagaikan pedang tak bertuan.
Aku takkan mampu berdiri sendiri, Puan Suri

PUAN SURI

Kanda! 
Dinda maklum perasaan kanda.
Kiap dan Kanda bersaudara.
Dua batang nibung kembar penyanggah istana.


ALANGLOMA

Iya.
 Satu setia,  satu lagi mendurhaka.
Ketika si Kiap menikam Rajanya, 
seharusnya Alang Loma mencegahnya dengan tetesan darah ataupun nyawa.
Tapi sayang, Panglima perkasa ini mencencang lengannya sendiri.
(kesal)
Aaah !!  Aku lemah, Puan Suri….Aku lemah…..

PUAN SURI

Tak perlu itu disesalkan.
Kembalikan keperkasaan kanda.
Kokohkan iman, kuatkan perasaan.
Berdirilah dipuncak kebenaran.


ALANG LOMA

Perkasa, bukan mencencang sembarangan.
Gagah, bukan berarti membusungkan dada.
Menapak, harus penuh perkiraan.
Melangkah, harus penuh perhitungan

Surut, bukan menyerah dalam pertempuran.
Luka, bukan kalah dalam pertarungan.

Kita menanti dan menanti. 
Saat itu pasti tiba.
Jalak pasti datang dengan payung kebesaran.

PUAN SURI

Dinda tak yakin itu.
Menanti sesuatu yang tak pasti, 
akan berakhir dengan kecewa, Kanda.

ALANG LOMA

Jalak pasti kembali 
bila saatnya tiba.

PUAN SURI

Apakah Kanda yakin itu ?

ALANG LOMA

Firasatku mengatakan ,
Yang jatuh belum roboh.
Yang ditetak belum retak.
Yang rebah belum binasa.

Selagi bintang menyinari malam, 
kita masih punya harapan.

PUAN SURI

Tapi, Kanda…......

            Belum sempat Puan Suri meneruskan kata-katanya, tiba-tiba lampu yang menerangi adegan itu mendadak dipadamkan.


tiga

            Serentak dengan matinya lampu yang menerangi adegan (dua), lampu yang mengarah  pada Puteri Gemala dan Intan dihidupkan perlahan-lahan (dari redup semakin terang). Puteri Gemala bangun perlahan dari tempatnya berbaring.wajah perempuan itu tampak lesu ketakutan.


GEMALA

Auuuuu! Tidak….! Tidaaak…!  Jangan…..!

INTAN

(kaget)

Gemala ! Gemala !

GEMALA

(tak menghirakan panggilan Intan, ia terus berteriak-teriak)

jangan…..jangan lakukan itu. Jangan….

INTAN

Gemala !!!

 
GEMALA

Intan ! tolong aku. Aku takut.

INTAN

Apa yang kau lihat ? katakanlah  !
Aku tak dapat menolongmu, 
kalau kau tak mengatakan apa-apa.

GEMALA

Bulan pudar, bintang bersinar….
Bulan pudar bintang bersinar…..
Bulan pudar bintang bersinar….. Intan.

INTAN

Jangan membuat aku bingung, Gemala.

GEMALA

Aku melihatnya, Intan. Sangat jelas. Jelas sekali.
Segumpal awan hitam  tiba-tiba datang menutupi bulan.

INTAN

Betulkah begitu ?

GEMALA

(seolah-olah menyaksikan)

Lihatlah itu ! betapa redup cahayanya…
betapa remangnya.

(mendadak seperti ketakutan)

Oooooo, tidak…tidak. Aku takut, Intan. Aku takut.


INTAN

(bingung)

Aku tak mengerti dengan tingkahmu.

GEMALA

Tolonglah aku Intan. Aku ngeri…. Ngeri sekali….



INTAN

(agak kesal)

Gemala ! kalau begini aku jadi bingung.

GEMALA

Bukan hanya kau Intan. Semua orang juga bingung. 
Mereka mengetawaiku…Mengejekku….Mengatakan aku gila.
Ooo… Aku tak punya sahabat kini.

INTAN

Aku kan sahabatmu, Gemala.

GEMALA

Kau juga sama dengan mereka. Kau mengetawaiku.

INTAN

Berpalinglah !,  pandang wajahku  !!!

GEMALA

Jadi, kau tak ketawa melihat penderitaanku.


INTAN

Seorang sahabat, tak akan gembira melihat temannya menderita.

GEMALA

Betulkah begitu ?

INTAN

(hanya mengangguk sedih)

GEMALA

Maukah kau berjanji. Melafaskan kata sumpah.
Aku mau dengar pernyataanmu.

INTAN

(diam)

GEMALA

Mengapa kau diam.

INTAN

Lidahku kelu bila berkata

GEMALA

Intan..!!

INTAN

Mengapa baru kini kau menuntutku. 
Menyuarakan kata sumpah. 
Mengapa dalam keadaan seperti ini. 
Disaat-saat engkau dilanda derita.

GEMALA

Saat ini aku amat memerlukannya. 
Pada waktu begini, nilai sebuah persahabatan akan dipandang mulia. 
Bersumpahlah ! aku mau mendengar kata itu.

INTAN

Tidak...!!!
Aku takkan mengatakan apa-apa saat ini.

GEMALA

(marah)

Aku ragukan kesetiaanmu, Intan.

INTAN

(berusaha membujuk)

Aku tetap sahabatmu. Percayalah !

GEMALA

(berbalik membelakangi)

INTAN

Sumpah…datangnya dari hati.
Kesetiaan…datangnya dari budi.
Sedangkan kata, hanya permainan lidah.

Sumpahku hanya untuk diriku sendiri. 
Itu kulafaskan dalam hati
Semua itu sudah kulakukan pada awal pertemuan kita.


GEMALA

(berbalik dan merangkul)

maafkan aku, Intan !
sungguh aku tak menyangka.
Kesetiaan, akan tercermin dalam duka.
Sedangkan sumpah adalah aksara tanpa kata.
Ooo, engkaulah sahabatku kini.

INTAN

Sekarang katakana padaku. 
Apa yang mengganggu pikiranmu ?

GEMALA

Perlukah itu ?

INTAN

Menceritakan kepedihan pada orang lain, 
akan mencampakkan duka dari luka kita.

GEMALA

Aku tak mau mencomoti diri.
Membuka aib sendiri.
Mendedahkan rahasia hati.

INTAN

Lupakah kau, bahwa aku sahabatmu.
Katakanlah ! rahasiamu, rahasia ku juga.

GEMALA

(sedih dan menangis)
Sang maut memasuki rumah kita. 
Aku melihatnya… Jelas sekali.
Ia menyelusup bagaikan sesosok bayang.
Menaiki tangga, membuka pintu dan jendela.

Lihatlah !  itu dia, Intan.

(Gemala menunjuk kesalah satu arah, ia begitu ketakutan)

            Lampu yang menerangi Germala dan Intan diredupkan. Berbarengan dengan itu lampu yang menerangi Bedu dan Toha terang secara mendadak.



EMPAT

            Bedu bangun, seperti melihat sesuatu, gugup dan ketakutan. Toha yang berada tak jauh darinya tersentak memperhatikan gelagat Bedu.

BEDU

(seperti dirasuk setan)
Sang maut telah datang.
Menaiki tangga. Membuka pintu dan jendela.
Aku mencium baunya. Melihat bayangnya
Ooooo alangkah ngerinya.

TOHA

(kaget)

Bedu…!
Apa yang kau ucapkan ?
Jangan mengada ngada.
 Sebentar lagi upacara pengobatan akan dimulai.



BEDU

(semakin dihantui ketakutan)

Aku berkata benar. Aku melihatnya. Percayalah Toha.

(memohon kepada yang dilihat) 

Ja…jangan…jangan cekik aku….!!!

TOHA

Apa yang kau katakana ha...?  A..aku tak melihat apa-apa.

BEDU

(menghiba)

Tolong aku, Toha…..Aku takut….Dia makin dekat.

TOHA

(ikut ketakutan)

a, ti….ti.. tidak ada apa-apa. Kau jangan main-main.

BEDU

Aku tak main-main. 
Seumur-umurku, baru kali ini aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. 
Tolonglah aku Toha.

TOHA

(semakin ketakutan. Ia mundur beberapa langkah)

Aa…a…aku tak percaya.

            Lampu secara perlahan menerangi seluruh ruangan. Orang-orang mulai ambil perhatian. Mereka mulai gelisah. Masing-masing dihantui oleh rasa takut. Ada yang mengurung diri dalam selimut. Ada yang berlindung di balik temannya. Mata mereka melotot memperhatikan kiri dan kanan, mencari sesuatu.


TOHA

(coba menguasai diri)

Tenang saudara-saudara ! Tenang…!
Kita tak boleh ikut terpengaruh dengan keadaan ini.



PEREMPUAN

(marah)

Kami kau suruh tenang. Sedangkan engkau ketakutan.
Kini kita semua sedang diancam bahaya.

TOHA

(masih berusaha menyembunyikan ketakutannya)

A…aku ti..tidak apa-apa.  Ki…kita semua aman.
Ma…mana ada bahaya.


PEREMPUAN

(membentak Toha)

Diam kau !

(kepada orang-orang)

Apa yang kalian tunggu di situ. Bergeraklah !
Cepat ! Tutup pintu dan jendela !

            Orang-orang semakin dihantui ketakutan. Beberapa diantara mereka malah berusaha menghindar.


PEREMPUAN

Jangan diam saja di situ. Kita tak boleh mati sia-sia.
Cepat kunci pintu dan jendela.

            Suasana tampak sedikit kacau. Orang-orang tambah bingung. 
Tapi diantara mereka akhirnya ada yang memberanikan diri melangkah ke arah pintu, yang lainnya berusaha mendekati jendela.


URIP

(membentak)

Percuma….!   Percuma kalian lakukan itu.

            Orang-orang serta merta membatalkan niatnya. Perhatian mereka kini tertuju pada Urip yang tampak sudah mulai kesurupan.

URIP

Sang maut itu sudah ada di sini. Lihat  ! 
Secara perlahan-lahan ia mendekatiku. 
Ooooo betapa ngerinya.

            Urip dengan penuh rasa takut berusaha menghimdar. Ia mundur setapak demi setapak. Sebaliknya Bedu yang sudah menggigil ketakutan dan tak sanggup lagi membuka mulutnya, juga melakukan hal yang sama dari arah berlawanan. Pada suatu ketika, tubuh mereka berbenturan. Kedua anak muda itu terperanjat. Memekik histeris, lalu pingsan. ............................................(dst).


                                                                                       (temul amsal)






Auditorium Radio Televisi Brunei Darussalam


Tidak ada komentar: