sinopsis
cerita
“LANCANG
KUNING”
Lancang
Kuning adalah Lancang kenaikan Datuk Laksemana. Sebuah perahu yang dibuat
khusus untuk pimpinan tertinggi di
Bukit Batu.
Setelah Lancang selesai
dikerjakan, dilakukan suatu upacara untuk menurunkannya kelaut. Namun Tuhan berkehendak lain. Walaupun
beratus-ratus tenaga telah dikerahkan untuk menariknya, namun perahu tersebut
tetap saja berdiri kaku diatas galangannya, padahal semah laut (sebagaimana tradisi masyarakat disana waktu
itu) sudah dilakukan.
Menurut Kemantan (dukun /
bomo) harus dikorbankan seorang perempuan hamil muda. Datuk Laksemana menantang
hal itu karena bertentangan dengan ajaran agama. Bagi Datuk Laksemana nyawa rakyatnya jauh lebih berharga dari
sebuah Lancang yang bakal dijadikan lambang kebanggaan negeri itu.
Pada suatu malam, secara
sembunyi-sembunyi Panglima Hasan menculik Zubaidah (isteri Panglima Umar
sahabatnya sendiri) karena dendam asmara yang tak kesampaian. Zubaidah yang
sedang hamil muda itu jadi korban keserahan dan kebiadaban sahabat suaminya
sendiri.
Panglima Umar yang baru
pulang dari peperangan, tanpa usul periksa, menuduh Datuk Laksemanalah yang
melakukan pembunuhan terhadap isterinya. Hal ini mengakibat kan terjadinya
suatu tragedi yang amat memilukan.
Lancang
tak turun dari galangnya
Seorang panglima
bernama Hasan
Berbuat nekat
mengkhianati teman
Isteri Umar
dijadikan korban
Menurunkan
lancang ketengah lautan
Umar marah bukan
kepalang
Ia mengamuk
sambil meradang
Menuduh Laksemana
berbuat curang
Melampiaskan
dendam tanpa ditimbang
para pelaku
-------------------------------------------
-
Datuk Laksemana
-
Panglima Umar
-
Panglima Hasan
-
Batin
-
Kemantan
-
Badul
-
Zubaidah
-
Seri Utih
-
Awang
-
Alang
-
Orang-orang kampung
---------------
“LANCANG KUNING”
naskah : temul amsal
---------------------------------------------------------
Pentas
: Hamparan pasir putih, diselingi beberapa bongkah bebatuan besar.
Disalah satu sisi, terdapat sebuah pondok kecil beratapkan rumbia (pos
penjagaan) dengan latar belakang sebuah perahu layar berwarna kekuning-kuningan
yang masih berdiri kokoh diatas galangannya, sayup-sayup tampak sebuah pulau
kecil menyembul dari permukaan laut. Musik lembut mengalun mengisi kesunyian,
sesekali diselingi Gemuruh ombak dan cicit camar yang beterbangan mencari
makan.
PEMBUKAAN
Sudah sejak tadi orang-orang asik melakukan
upacara membuang semah. Yakni dengan melakukan gerak- gerak ritual ( tari
tradisi ) dibawah pimpinan Kemantan. Kemudian secara serentak mereka berteriak
sambil menarik lancang tersebut dengan sekuat tenaganya.
SESEORANG
Satu…dua…tiga
ORANG-ORANG
Heeaaaaach
(diulangi
beberapa kali)
Orang-orang
itu tampak kelelahan. Keringat mengucur menbasahi tubuh mereka.
01
KEMANTAN
Sudah !
kalian sudah terlalu lelah.
Istirahatlah dulu.
Orang-orang
menuruti perintah Kemantan. Mereka berhenti. Istirahat melepaskan lelah (ada
yang membaringkan tubuhnya, ada yang minum, ada yang memakan sesuatu, ada yang
duduk sambil mengipas-ngipasi tubuhnya dan adapula yang berbual-bual kecil
sesamanya). Lampu
padam.
SATU
Malam itu angin berembus pelan. Cahaya
rembulan ditutupi awan. Dua buah lantera yang menyala sengaja digantungkan pada
disisi pondok. Bunyi binatang malam yang sesekali diselingi deburan gelombang
kedengaran mengisi kesunyian. Awang dan Alang yang mendapat tugas jaga pada
malam itu sudah sudah lama berada di sana. Alang meneguk kopi panas dari sebuah
tempat minuman yang berada di depannya. Tak berapa lama kemudian Awang datang
menghampiri.
01
AWANG
Tidurlah kau dulu,
sekarang biar aku yang jaga.
Besok tenaga kita
masih diperlukan.
02
ALANG
Mataku tak mau
dipejamkan,
lagi pula, hari masih
terlalu senja.
Awang
mengambil sesuatu dari sebuah mangkok yang terletak tak berapa jauh darinya.
Sambil memakan benda yang diambilnya tadi ia menambahkan minuman pada tempat
minumannya yang sudah kosong. Tak berapa lama berselang Datuk Laksemana masuk
diiringi oleh Batin, Panglima Hasan dan Kemantan.
03
DATUK LAKSEMANA
Bagaimana keadaan kalian?
04
BADUL
Aman-aman saja, Datuk
05
DATUK LAKSEMANA
Syukurlah.
06
BATIN
Negeri ini, senantiasa aman, Laksemana.
Tak ada tipu daya dan sengketa
Tak ada rasa iri dan dengki
Tak ada yang mau menang sendiri
07
DATUK LAKSEMANA
Alhamdulillah. Begitulah hendaknya.
Negeri aman perasaan nyaman
Rakyatnya bekerja dengan tenang
Tanpa dihantui rasa cemas dan bimbang.
08
BATIN
Betul, Laksemana. Bukit Batu ini negeri
bertuah
Tanahnya subur rakyatnya makmur
Hanya…Masih ada sesuatu
yang mengganjal dipikiran hamba
09
DATUK LAKSEMANA
(memotong)
Apa yang mengganjal dipikiranmu, Batin ?
10
BATIN
Ada kayu yang belum ditarah, Laksemana
Ada bungkal yang belum diasah
Lancang Kenaikan Laksemana itu
sampai hari ini, belum turun-turun juga.
11
DATUK LAKSEMANA
(senyum sambil ketawa)
yang haluan di kedepankan
yang bijak di ketengahkan
yang pandai kita kemukakan
yang patut kita patutkan
Itu Urusan Kemantan, dialah yang lebih tau.
12
KEMANTAN
Iya, Datuk
Hamba tetap seperti dulu.
Taat pada petuah
Setia pada sumpah
Terasa ringan hamba jinjing
Terasa berat hamba pikul
Perintah Datuk Laksemana tetap hamba
jalankan
Rencananya pasang petang esok
akan kami tarik lagi lancang itu
bersama-sama
13
DATUK LAKSEMANA
Jangan.
Mereka sudah terlalu lelah.
Beri kesempatan agar mereka bekerja
menafkahi anak isterinya.
14
PANGLIMA HASAN
Mengapa begitu, Laksemana
Bukankah lebih cepat lebih baik.
Dari berkayuh baik berdayung
Dari berjalan baik berlari
Agar nak lekas ketujuan
Hajat sampai kerja selesai.
15
DATUK LAKSEMANA
(senyum)
Tak baik memburu langkah, Panglima
Tiap sukat punya takaran
Tiap ukuran punya batasan.
Kalau kita mampu bersabar
Semua simpai akan terungkai
Semua simpul akan terpucul
Hajat dihati terkabul juga
16
PANGLIMA HASAN
(agak tersipu malu)
Maafkan hamba, Laksemana
17
DATUK LAKSEMANA
Darah muda memang begitu. Selalu terburu
nafsu.
Mati gajah karena gading
Mati harimau karena belang
Kalau tak hati hati bila melangkah
Kaki tersandung, badan binasa
Ingat itu !.
Datuk Laksemana
tampaknya tak mau berlama-lama. Dengan senyum Orang tua itu mengayunkan
langkahnya meninggalkan tempat itu. Kemantan dan Batin mengikuti dari belakang.
Panglima Hasan cepat-cepat menarik tangan Batin, membuat lelaki separoh baya
itu terpaksa menahan langkahnya........................(dst).
(temulamsal@gmail.com)
puang
Naskah : Temul
Amsal
Produksi : Teater “GEMA” pekanbaru
---------------------------------------------------------------
Tidak diketahui kapan lakon ini dimulai. Sewaktu para
undangan masuk, mereka langsung menyaksikan kesibukan di arena permainan.
Para pemain, tanpa menghiraukan para
undangan, terus saja melakukan pekerjaan mereka. Ada yang menyobek-nyobek kain
hitam; ada yang menyusun dan memotong-motong pelepah rumbia; ada yang menjalin
pucuk kelapa; ada yang memadatkan lilin lebah; ada yang membuat beras kunyit,
beras basuh, bertih dan sebagainya. Peristiwa ini berlaku seolah-olah
sebagaimana layaknya suatu kesibukkan dalam mempersi apkan perlengkapan
pengobatan tradisional.
satu
Upacara
persiapan pengobatan Puteri Gemala terus berlangsung. Dimana sang Puteri yang
cantik jelita itu, di salah satu sisi dihadirkan dalam keadaan lesu (sederhana,
murung, kurang semangat).
Dalam suasana ramai begitu,
tiba-tiba lampu mati (sengaja diciptakan sedemikian rupa, seolah-olah adanya
gangguan listrik). Suasana tampak sedikit kacau. Orang-orang mulai sibuk. Ada
yang menyalakan korek api; ada yang mondar mandir mencari dan membawa lantera;
ada yang berseru “pasang suluh” dan sebagainya dan sebagainya.
Seseorang muncul ketengah-tengah
hadirin membawa suluh.
SESEORANG
Keadaan ini sama sekali diluar dugaan
satu yang perlu diingat
sebagaimana yang dibisikkan Kemantan kepada saya
Apapun yang terjadi di ruangan ini
tak seorangpun diantara kita
diperbolehkan meninggalkan tempat duduknya masing-masing
kecuali dengan seizin Kemantan.
Dalam keremangan itu, segala
sesuatu yang dikerjakan oleh orang-orang tadi tampak sudah selesai,
ancak-ancak, balai-balai dan lancing sudah diletakkan ditempatnya. Gendang
mulai ditabuh.Orang-orang bersenandung. Diantaranya ada yang berdiri melangkah
mengikuti irama gendang dengan gerakan sumbang (tampak seperti kesurupan). Di
tengah-tengah mereka Kemantan membaca mantera dengan suara serak dan patah-patah
( tak dapat ditangkap artikulasi bahasanya oleh pendengaran telinga).
Tak lama kemudian lampu mendadak
terang. Hiruk-pikuk hilang seketika, suasana tenang dan lengang.
kedua
Seseorang
masuk tergopoh-gopoh, memberikan selembar surat kepada Alang Loma. Alang Loma
bersikap seperti membaca. Lampu focus pada Alang loma.
RAJA KIAP
(out of scene)
Alang
Loma…..!
Surat ini
sebagai tanda hormatku padamu
Kita lahir dibesarkan di kubangan yang sama
Kau ingat
itu ?
Alang
Loma….!
Aku tahu
kau membenciku
Aku maklum, kau takkan pernah merestui permintaanku.
Tapi,
ketahuilah !
Saat ini
aku menduduki kursi singasana.
Aku Rajamu,
Alang Loma !
Ingin ku
sampaikan padamu tentang cerita Raja-Raja.
Tentang
kemegahan istana
Tentang
'Taman Sari' yang penuh aneka “bunga”.
Harum….
Mewangi… Penuh pesona
Tapi, aku
gagal.
Putraku
jelaka, tak tertarik meraup kuncup di taman itu.
Sebaliknya
ia memintaku, memetik “Kuntum Wangi” yang kau simpan.
Malam ini,
aku datang menemuimu.
Meminang putri Gemala,
untuk dinikahkan dengan Jelaka,
putra kesayanganku itu.
Alang
Loma tersentak. Lelaki itu sedikit kaget, kesal, serta merta ia merobek surat
yang tergenggam di tangannya. Orang-orang sekitarnya tak begitu memperhatikan,
mereka asik pada pekerjaan mereka. Puan Suri memungut sobekan itu
berusaha
memahami isinya.
PUAN SURI
Mudah-mudahan dia
tak datang malam ini.
ALANG LOMA
Si Kiap takkan
pernah mengingkari janji
Jika mulutnya sudah
berkata
Ia pasti menghulur
langkah
PUAN SURI
Kalau ia dating,
bagaimana sikap kanda ?
ALANG LOMA
Itulah yang
mengganggu pikiranku.
PUAN SURI
Gemala sedang
sakit.
Anak itu mengalami
tekanan batin yang amat berat.
ALANG LOMA
Aku tahu itu.
PUAN SURI
(sedikit keras)
Semua yang hadir di
sini juga tahu.
ALANG LOMA
Iya.
Jiwanya beronta
Sulit sekali
baginya untuk mengendalikan diri.
PUAN SURI
Apa yang mesti kita
lakukan ?
ALANG LOMA
Kita sedang
berusaha.
Seperti yang kau
lihat sekarang.
Segala peralatan
sudah disiapkan
Tinggal menunggu
kedatangan Kemantan.
PUAN SURI
Selain itu apa
usaha kita ?
ALANG LOMA
Kita hanya mampu
berdoa. Memohon berkah pada Yang Kuasa.
PUAN SURI
Hanya itu ?
ALANG LOMA
Buat sementara,
hanya itu kemampuan kita.
PUAN SURI
Doa tanpa usaha,
hasilnya sia-sia.
(sedih)
Dimana
letak kasih sayang kanda.
Dimana tanggung
jawab kanda selaku ayah.
Sampai hatikah
kanda melihat puteri kita menderita ?
ALANG LOMA
(agak kesal)
Puan Suri ..!
Seekor srigala
laparpun tak akan mengerkah anaknya sendiri.
Apatah lagi kita
manusia.
PUAN SURI
Tapi, mengapa kanda
tak juga berusaha.
ALANG LOMA
Sekarang kita
dihadapkan pada dua kenyataan.
Kita berdiri tepat
di tengah-tengah dua persimpangan.
Penuh liku dan
jurang.
PUAN SURI
Tetapkan pikiran
kanda.
Pilih satujalan
terbaik buat keluarga kita.
ALANG LOMA
Itu sudah pasti,
dinda. Pasti…!
Kita menanti
kesempatan tiba.
PUAN SURI
(sedikit emosi)
Kesempatan sudah
ada.
Jalan sudah
terbuka.
Hanya kanda yang
selalu ragu.
ALANG LOMA
Tak baik
terburu-buru, Puan Suri !
Walau kita tahu
jalan mana yang mesti dilapah,
Lumpur mana yang
mesti dilanyah.
Segala sesuatunya
mestilah dengan penuh perhitungan.
PUAN SURI
Mengapa kanda ragu.
Bersikaplah seperti
perahu.
Untuk mencapai
tujuan, ia tak pernah diam.
Kadangkala
menongkah pasang, mengharungi lautan,
menghadang gombak,
badai dan topan
ALANG LOMA
Puan Suri.
Sejak pasang
menenggelamkan pulau,
alur hilang beting
menghadang
kini
sumpah jadimainan
janji menjadi
gurauan
aku tak mau perahu
kita kandas ditengah lautan.
PUAN SURI
O, begitukah
Jadi….kanda terima
pinangan Jialaka ?
ALANG LOMA
Kanda piker, cara
inilah yang terbaik.
PUAN SURI
Dalam keadaan
begini ?
ALANG LOMA
Iya.
PUAN SURI
Kanda…!?
ALANG LOMA
Kenyataan ini mesti
kita terima, dinda.
PUAN SURI
Adat mana yang
kanda pakai.
Budaya mana yang
kanda semai.
ALANG LOMA
Aku tak mendalami
soal itu.
Tapi percayalah !
manfaatnya pasti ada.
PUAN SURI
Terlalu
menjijikkan.
Menapak di tanah
Lumpur, telapak hilang jejak tertinggal.
Menyembunyikn
amarah di depan lawan,
sikap keji yang tak
terpuji.
ALANG LOMA
Aku lelaki, Puan
Suri.
PUAN SURI
Seorang lelaki,
senantiasa membusungkan dada.
Berkata jujur dan
setia.
ALANG LOMA
Kejujuran tak lagi
punya arti
Kesetiaan tak lagi
punya makna
Kini semua sudah
berubah
Yang melempar,
menyembunyikan tangan
Yang berkata,
menyembunyikan lidah.
PUAN SURI
Justeru itu kita
harus tetap pada pendirian.
Mana yang tegak
ditegakkan
Mana yang duduk
didudukkan
Kanda dengar itu ?
ALANG LOMA
Aku mendengarnya.
PUAN SURI
Tapi mengapa tak
dipahami.
ALANG LOMA
Aku paham, Puan Suri.
Aku paham.
PUAN SURI
Kalau begitu
mengapa ragu.
ALANG LOMA
Menolak permintaan
Raja,
sama dengan menghempaskan kaca kemuka.
Kita sendiri yang terluka.
PUAN SURI
Mati membela
kebenaran, jauh lebih terpuji,
dari hidup memendam
dendam.
ALANG LOMA
Sudahlah !
Tabahkan hati,
lapangkan dada.
Sebentar lagi
upacarapengobatan akan dimulai.
PUAN SURI
Sebentar lagi Raja
Kiap akan dating, Kandsa.
ALANG LOMA
Kalau dia dating
kita sambut dengan senyuman.
PUAN SURI
Tidak, Kanda.
Tidak. Dinda muak melihat mukanya.
ALANG LOMA
Tenanglah ! Biar kanda yang bicara.
Dinda pergilah
bersembunyi !
PUAN SURI
Bersembunyi ?
Bukankah itu ucapan perempuan.
ALANG LOMA
Suara perempuan yang
keluar dari mulut seorang lelaki, akan lebih terpuji
dari perempuan itu sendiri
yang meneriakkan suara jantan.
PUAN SURI
Ungkapan yang
memalukan. Sungguh menjijikan.
ALANG LOMA
Kita rakyat, Puan
Suri. Sadarilah itu.
PUAN SURI
Seekor kucing
peliharaanpun akan marah,
jika dipaksa menjilat nanah yang mengalir dikaki
tuannya
ALANG LOMA
Kau terlalu
berburuk sangka, Puan Suri.
PUAN SURI
Kanda !
Si pendurhaka
itukah yang kanda bela.
Panglima zalim
itukah yang kanda sembah.
Sultan Syah Alam
dibunuhnya.
Tahta kerajaan
dirampasnya.
Perbuatan itukah
yang dibangga.
ALANG LOMA
(berusaha membujuk)
Keselamatan Gemala
itulah yang utama.
Lagi pula Raja Kiap itu saudara seperguruan kanda.
Antara
kanda dan dia masih punya tali ikatan.
PUAN SURI
Persaudaraan mana
yang kanda bina.
Ikatan mana yang
diketatkan.
Teman mencencang
dari belakang, dapatkah disebut kawan.
Tali ikatan
penjerat diri, tidakkah pantas buat ditetas.
ALANG LOMA
(tenang)
terlanjur turun ke
air, kita tak mau langsung tenggelam.
Kita tak punya
kekuatan kini.
Sampan ada,
pendayung tidak.
Jalak dikandang lah
terbang
Hilang di gelap
malam.
PUAN SURI
Alang Loma …!
ALANG LOMA
Jangan
sebut nama itu.
Alang Loma
takkan berdiri, tanpa si Jalak di pundaknya.
PUAN SURI
Alang Loma!!
Denak Jantan .
Lahir di kubangan,
besar di tengah gelanggang.
Tunjukkan
keperkasaanmu !!!
ALANG LOMA
(bersaha menahan emosi)
keperkasaanku sudah
tenggelam
kesetiaanku sudah
terpendam.
PUAN SURI
Serendah itukah,
suara si Denak Jantan.
Selemah itukah
Alang Loma,
panglima kepercayaan Sultan Syah Alam
ALANG LOMA
(pasrah)
Hari semalam telah
mati, Puan Suri. Tak baik untuk dikenang.
PUAN SURI
(dengan nada
rendah)
Namun ia tetap hidup
disanubari kita, Kanda.
Terlukis dilubuk
hati yang dalam.
ALANG LOMA
Entahlah.
(pause).
Panglima tanpa
Raja, bagaikan parang kehilangan mata.
Panglima tanpa
Sultan, bagaikan pedang tak bertuan.
Aku takkan mampu
berdiri sendiri, Puan Suri
PUAN SURI
Kanda!
Dinda maklum
perasaan kanda.
Kiap dan Kanda
bersaudara.
Dua batang nibung
kembar penyanggah istana.
ALANGLOMA
Iya.
Satu setia, satu lagi mendurhaka.
Ketika si Kiap
menikam Rajanya,
seharusnya Alang Loma mencegahnya dengan tetesan darah ataupun
nyawa.
Tapi sayang,
Panglima perkasa ini mencencang lengannya sendiri.
(kesal)
Aaah !! Aku lemah, Puan
Suri….Aku lemah…..
PUAN SURI
Tak perlu itu
disesalkan.
Kembalikan keperkasaan
kanda.
Kokohkan iman,
kuatkan perasaan.
Berdirilah dipuncak
kebenaran.
ALANG LOMA
Perkasa, bukan
mencencang sembarangan.
Gagah, bukan berarti
membusungkan dada.
Menapak, harus penuh
perkiraan.
Melangkah, harus
penuh perhitungan
Surut, bukan menyerah
dalam pertempuran.
Luka, bukan kalah
dalam pertarungan.
Kita menanti dan
menanti.
Saat itu pasti tiba.
Jalak pasti datang
dengan payung kebesaran.
PUAN SURI
Dinda tak yakin
itu.
Menanti sesuatu
yang tak pasti,
akan berakhir dengan kecewa, Kanda.
ALANG LOMA
Jalak pasti kembali
bila saatnya tiba.
PUAN SURI
Apakah Kanda yakin itu ?
ALANG LOMA
Firasatku
mengatakan ,
Yang jatuh belum
roboh.
Yang ditetak
belum retak.
Yang rebah belum
binasa.
Selagi bintang
menyinari malam,
kita masih punya harapan.
PUAN SURI
Tapi, Kanda…......
Belum
sempat Puan Suri meneruskan kata-katanya, tiba-tiba lampu yang menerangi adegan
itu mendadak dipadamkan.
tiga
Serentak
dengan matinya lampu yang menerangi adegan (dua), lampu yang mengarah pada Puteri Gemala dan Intan dihidupkan
perlahan-lahan (dari redup semakin terang). Puteri Gemala bangun perlahan dari
tempatnya berbaring.wajah perempuan itu tampak lesu ketakutan.
GEMALA
Auuuuu! Tidak….!
Tidaaak…! Jangan…..!
INTAN
(kaget)
Gemala ! Gemala !
GEMALA
(tak menghirakan panggilan
Intan, ia terus berteriak-teriak)
jangan…..jangan
lakukan itu. Jangan….
INTAN
Gemala !!!
GEMALA
Intan ! tolong aku.
Aku takut.
INTAN
Apa yang kau lihat
? katakanlah !
Aku tak dapat
menolongmu,
kalau kau tak mengatakan apa-apa.
GEMALA
Bulan pudar,
bintang bersinar….
Bulan pudar bintang
bersinar…..
Bulan pudar bintang
bersinar….. Intan.
INTAN
Jangan membuat aku
bingung, Gemala.
GEMALA
Aku melihatnya,
Intan. Sangat jelas. Jelas sekali.
Segumpal awan hitam tiba-tiba datang menutupi bulan.
INTAN
Betulkah begitu ?
GEMALA
(seolah-olah
menyaksikan)
Lihatlah itu !
betapa redup cahayanya…
betapa remangnya.
(mendadak seperti
ketakutan)
Oooooo,
tidak…tidak. Aku takut, Intan. Aku takut.
INTAN
(bingung)
Aku tak
mengerti dengan tingkahmu.
GEMALA
Tolonglah aku
Intan. Aku ngeri…. Ngeri sekali….
INTAN
(agak kesal)
Gemala ! kalau
begini aku jadi bingung.
GEMALA
Bukan hanya kau
Intan. Semua orang juga bingung.
Mereka mengetawaiku…Mengejekku….Mengatakan aku
gila.
Ooo… Aku tak punya
sahabat kini.
INTAN
Aku kan sahabatmu,
Gemala.
GEMALA
Kau juga sama
dengan mereka. Kau mengetawaiku.
INTAN
Berpalinglah !,
pandang wajahku !!!
GEMALA
Jadi, kau tak
ketawa melihat penderitaanku.
INTAN
Seorang sahabat, tak
akan gembira melihat temannya menderita.
GEMALA
Betulkah begitu ?
INTAN
(hanya mengangguk
sedih)
GEMALA
Maukah kau
berjanji. Melafaskan kata sumpah.
Aku mau dengar
pernyataanmu.
INTAN
(diam)
GEMALA
Mengapa kau diam.
INTAN
Lidahku kelu bila
berkata
GEMALA
Intan..!!
INTAN
Mengapa baru kini
kau menuntutku.
Menyuarakan kata sumpah.
Mengapa dalam keadaan seperti ini.
Disaat-saat engkau dilanda derita.
GEMALA
Saat ini aku amat
memerlukannya.
Pada waktu begini, nilai sebuah persahabatan akan dipandang
mulia.
Bersumpahlah ! aku mau mendengar kata itu.
INTAN
Tidak...!!!
Aku takkan
mengatakan apa-apa saat ini.
GEMALA
(marah)
Aku ragukan
kesetiaanmu, Intan.
INTAN
(berusaha membujuk)
Aku tetap
sahabatmu. Percayalah !
GEMALA
(berbalik
membelakangi)
INTAN
Sumpah…datangnya
dari hati.
Kesetiaan…datangnya
dari budi.
Sedangkan kata,
hanya permainan lidah.
Sumpahku hanya
untuk diriku sendiri.
Itu kulafaskan dalam hati
Semua itu sudah
kulakukan pada awal pertemuan kita.
GEMALA
(berbalik dan
merangkul)
maafkan aku, Intan
!
sungguh aku tak
menyangka.
Kesetiaan, akan
tercermin dalam duka.
Sedangkan sumpah
adalah aksara tanpa kata.
Ooo, engkaulah
sahabatku kini.
INTAN
Sekarang katakana
padaku.
Apa yang mengganggu pikiranmu ?
GEMALA
Perlukah itu ?
INTAN
Menceritakan
kepedihan pada orang lain,
akan mencampakkan duka dari luka kita.
GEMALA
Aku tak
mau mencomoti diri.
Membuka aib
sendiri.
Mendedahkan rahasia
hati.
INTAN
Lupakah kau, bahwa
aku sahabatmu.
Katakanlah !
rahasiamu, rahasia ku juga.
GEMALA
(sedih dan
menangis)
Sang maut memasuki
rumah kita.
Aku melihatnya… Jelas sekali.
Ia menyelusup
bagaikan sesosok bayang.
Menaiki tangga,
membuka pintu dan jendela.
Lihatlah ! itu dia, Intan.
(Gemala menunjuk kesalah satu arah, ia begitu ketakutan)
Lampu
yang menerangi Germala dan Intan diredupkan. Berbarengan dengan itu lampu yang
menerangi Bedu dan Toha terang secara mendadak.
EMPAT
Bedu
bangun, seperti melihat sesuatu, gugup dan ketakutan. Toha yang berada tak jauh
darinya tersentak memperhatikan gelagat Bedu.
BEDU
(seperti dirasuk setan)
Sang maut telah
datang.
Menaiki tangga.
Membuka pintu dan jendela.
Aku mencium baunya.
Melihat bayangnya
Ooooo alangkah
ngerinya.
TOHA
(kaget)
Bedu…!
Apa yang kau
ucapkan ?
Jangan
mengada ngada.
Sebentar lagi upacara pengobatan akan
dimulai.
BEDU
(semakin dihantui
ketakutan)
Aku berkata benar.
Aku melihatnya. Percayalah Toha.
(memohon kepada
yang dilihat)
Ja…jangan…jangan cekik aku….!!!
TOHA
Apa yang kau
katakana ha...? A..aku tak melihat apa-apa.
BEDU
(menghiba)
Tolong aku,
Toha…..Aku takut….Dia makin dekat.
TOHA
(ikut ketakutan)
a, ti….ti.. tidak
ada apa-apa. Kau jangan main-main.
BEDU
Aku tak main-main.
Seumur-umurku, baru kali ini aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri.
Tolonglah aku Toha.
TOHA
(semakin ketakutan.
Ia mundur beberapa langkah)
Aa…a…aku tak
percaya.
Lampu
secara perlahan menerangi seluruh ruangan. Orang-orang mulai ambil perhatian.
Mereka mulai gelisah. Masing-masing dihantui oleh rasa takut. Ada yang
mengurung diri dalam selimut. Ada yang berlindung di balik temannya. Mata
mereka melotot memperhatikan kiri dan kanan, mencari sesuatu.
TOHA
(coba menguasai
diri)
Tenang saudara-saudara
! Tenang…!
Kita tak boleh ikut
terpengaruh dengan keadaan ini.
PEREMPUAN
(marah)
Kami kau suruh
tenang. Sedangkan engkau ketakutan.
Kini kita semua
sedang diancam bahaya.
TOHA
(masih berusaha
menyembunyikan ketakutannya)
A…aku ti..tidak
apa-apa. Ki…kita semua aman.
Ma…mana ada bahaya.
PEREMPUAN
(membentak Toha)
Diam kau !
(kepada
orang-orang)
Apa yang kalian
tunggu di situ. Bergeraklah !
Cepat ! Tutup pintu
dan jendela !
Orang-orang
semakin dihantui ketakutan. Beberapa diantara mereka malah berusaha menghindar.
PEREMPUAN
Jangan diam saja di
situ. Kita tak boleh mati sia-sia.
Cepat kunci pintu
dan jendela.
Suasana
tampak sedikit kacau. Orang-orang tambah bingung.
Tapi diantara mereka akhirnya
ada yang memberanikan diri melangkah ke arah pintu, yang lainnya berusaha
mendekati jendela.
URIP
(membentak)
Percuma….! Percuma
kalian lakukan itu.
Orang-orang
serta merta membatalkan niatnya. Perhatian mereka kini tertuju pada Urip yang
tampak sudah mulai kesurupan.
URIP
Sang maut itu sudah
ada di sini. Lihat !
Secara
perlahan-lahan ia mendekatiku.
Ooooo betapa ngerinya.
Urip
dengan penuh rasa takut berusaha menghimdar. Ia mundur setapak demi setapak.
Sebaliknya Bedu yang sudah menggigil ketakutan dan tak sanggup lagi membuka
mulutnya, juga melakukan hal yang sama dari arah berlawanan. Pada suatu ketika,
tubuh mereka berbenturan. Kedua anak muda itu terperanjat. Memekik histeris,
lalu pingsan. ............................................(dst).
(temul amsal)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar