Riau Pos,
Minggu, 1 Agustus 1993
Catatan Resah,
Kegelisahan Sang
Seniman-Sastrawan
Oleh Syafruddin Saleh Sai Gergaji
TEMUL
AMSAL (singkatan dari Tengku Mulya Amril Aman Saleh) Lahir di (desa bekas kerajaan)
Pelalawan, 31 Juli 1954. putra sulung Tengku Aman Saleh dan Syarifah Hidayatul
Akmal yang berdarah Bangsawan Melayu berbias Arab Assaggaf. Nama yang
dipakainya, katanya, untuk menghilangkan kesan feodal dan kebangsawanannya----seperti juga Tenas Efendy dan Temasdoelhak.
Konon
telah bermain drama dan menyukai hal-hal sastera sejak masih
kanak-kanak.menulis naskah drama pentas dan naskah radio (yang pernah disiarkan
RRI Pekanbaru, RRI Stasiun Pusat Jakarta, dan oleh Radio Malaysia), scenario
film dokumenter objek wisata daerah riau (untuk Diparda Tingkat I Riau), sajak,
cerita-cerita pendek, artikel sastera, melukis dan membuat relief.
Semasa
mahasiswa (di Progran Studi Bahasa dan Sastera Indonesia FKIP Universitas
Riau) dipercayai menjadi asisten dosen untuk mata kuliah Apresiasi Sastera,
membantu kegiatan Penerangan Departemen Penerangan RI di Riau, dan mendirikan Grup Teater 'Gema', juga
bergabung dengan Grup Teater Bidang Kesenian Depdikbud Kampar dan Sanggar Seni
Budaya Pemuda Bangkinang (1975). Bila malam bertambah kelam, naskahnya yang
menjadi pemenang III pada sayembara menulis naskah Sosio Drama DPD KNPI Riau.
Pemenang I Penulisan Sajak antar Mahasiswa Riau (1978)Grup Teater yang disutradarainya pernah menempati urutan ke II Festival Teater
Remaja se Riau (1982), dengan judul naskah Kodai Putra Sakai karya M.Rasul.
Naskah
drama yang prnah dihasilkannya antara lain Keris Sebagai Saksi (1980),Gerhana
di Indrapura (1981), Panglima Rantin Tunggal (1983), Ketobong (1984), Lanun
Pulau Batu (1985), Ketuban (1985-1991), Sajak-sajaknya dimuat dalam Catatan
Resah (1980), Antologi Puisi Pekanbaru 80, Empat Berseru (bersamaDasri, Al azhar dan Syafruddin Saleh Sai Gergaji 1982), Blak-Blak Duka (Antologi bersama 1983),Lena
(a.b, 1986), Syair Orang Orang Pinggiran (bersama Dasri al-Mubary, 1991),
Menggantang Warta Nasib (app,1992), dan Jalan Bersama (a.b,1992),Menulis Buku
Belajar Membaca Sajak (bersama Dra. Saidat Dahlan,1979). Kini bekerja sebagai
pegawai negeri sipil di Kanwil Deppen Provinsi Riau. Kuliah hanya hingga Sarjana Muda.
Memiliki seorang Putera Said Rega Syahringga dari isterinya Norazizah, sarjana
alumnus Fisipol Unri.
Catatan panjang biodata Temul amsal menggambarkan selasar
resah kadar kegelisahan kesenimanan (dan kesasteraan) pada perjalanannya
menempuh jembatan titian lebuh-tabuh sastera dan lukis. Bermula dari wawasan
estetika klasik di panggung sandiwara, mengembara dengan sajak-sajak, cerita pendek,
dan skenario film, mencecahkan kuas ke kanvas, hingga kepada lukisan tiga demensi relief, Temul bergumul menuju
kekuatan kreatifitas dan gurat catnya, dengan resah buncah darah kegelisahan
sang seniman-sastrawan.
Desah keresahan bagi siapapun mestilah diluah salurkan,
yang memerlukan cara dan sarana sebagai wadah yang dapat menampungnya.
Membiarkannya tersungkup, di dalam jiwa yang tertutup pintunya, sama saja
dengan membiarkan katup yang menunggu masanya meletup. Penguasa yang membiarkan
warga-warganya terjerat persoalan-persoalan kehidupan, dan tersekat pula
mulutnya untuk bicara terbuka
sewajarnya, adalah penguasa yang sedang membangun istan dan singasana
kesengsaraan, yang membiarkan bara menyala di dalam sekam yang pelan-pelan
marak meremuk redamkan, yang memercik api ke padang ilalang yang akan segera
membakar pasar kehidupan dengan garang.
Temul Amsal Baca Sajak di Taman Ismail Marzuki Jakarta (2006)
Seniman –Sasterawan dan Kegelisahan
Sang seniman – sasterawan perekam dan pencatat peristiwa
kehidupan yang lebih tajam, daripada wartawan ataupun sejarawan. Fiksionalitas
yang mereka sajikan bukan sekedar berisi fiksi basi dan hambar. Karya mereka
ditaja dari realitas yang ada disertai idealita peristiwa, yang “berbicara”
lewat lukisan, gerak, ucapan, dan penuturan yang menghambur ke kedalaman
sumur-kehidupan hingga ke dasar samudra fakta dan rahasianya, mengangkasa ke
semesta-raya jiwanya (kehidupan itu). Hijrahiyah atau pemindahan suasana
kehidupan ke dalam wadah karya-karya mereka itu, berbancuh utuh meresapi
nilai-nilai filsafi, menghayati eksistensi hakiki persoalan – persoalan kehidupan
itu. Rekaan karya-karya mereka bukan lawan dari kenyataan, tetapi juga memberi
informasi pemikiran mengenai memahami kenyataan dan permasalahan – permasalahan pada wilayah kehidupan; sedih – gembira, kegelisahan, harapan, dan
sebagainya. Sedangkan wartawan dan sejarawan memberikan dan mencatat peristiwa
apa adanya tanpa tambahan rambahan luaran dan dalaman.
Menikmati karya seni –
sastrawan – budaya, berarti menghayati dan melibatkan diri ke dalam kehidupan
yang menyeluruh. Hal inilah yang memudahkan kita mengerti mengapa para raja
memelihara para pujangga istana, dahulu kala. Melecehkan kehadiran dan
eksistensi seniman – sasterawan, sama artinya dengan melecehkan kehidupan.
Subagio Sastrawardoyo menyatakan dengan amat tepat tentang panyair, misalnya, yang
dimuat di dalam Horison wajah baru (no.7/XXVII, Juli 1993:57).”….’ingat, tanpa
mata penyair menjadi buta’….”mata mereka tak boleh dilecehkan, (al-Quran,
sebagai “karya mahasastra” dari Allah SWT), mengungkapkan sejarah dan pristiwa
kehidupan, sebagai pelajaran dan juga memberikan gambaran kausalitas,
dilengkapi jalan keluar sebagai arah yang mesti ditempuh agar kegaduhan tidak
menggumuli dan melumuri kehidupan! Tindakan yang berdampak cepat atau
timerespons singkat dijelaskan global, sedang yang sebaliknya terperinci !).
Masyarakat marginal
merupakan komunal yang selalu bergumal dengan sentral persoalan yang bukan
hanya dipecahkan oleh mereka saja, tapi pun oleh tolehan menyeluruh. Orientasi
masyarakat yang kian kuat, tingkat konsumtif yang relatif tinggi, dan status
atau gengsi manusia (telah bergeser) diukur berdasarkan kekayaan materi, serta
globalisasi modernisasi, yang dampaknya kontak sontak mengoyak-ngoyak tonggak
bijak kehidupan, menuntut penanganan kejiwaan. Peran seniman-sasterawan
(budayawan) tidak dapat diabaikan, karena mereka bukan hanya menuturkan kesan
perasaan pribadi, tapi pula menyalurkan
pengamatannya terhadap kehidupan dengan akurat, aspirasi, keresahan,
keberhasilan, kekurangan dan
kegagalan.
Keresahan mereka
bukanlah kegelisahan semasa, namun alun yang berpulun ke segala arah wilayah,
merekam sejarah dan mencatatnya sebagai koreksi fiksionalitas idealistis ke
arah idealnya sasaran kehidupan. Karya seni merupakan tanggapan seorang seniman
terhadap dunia sekelilingnya (Arief Budiman, 1976:7).
Catatan
Resah, Orang-Orang Pinggiran, karya-karya Temul Amsal kaya dengan nuansa
keresahan yang penuh membuncah.
Sajak-sajak
awalnya yang terangkum dalam Catatan Resah (1980), kental dengan rutuk ratap;
walau pengungkapannya (pada waktu itu) belum dengan pintalan yang kuat dan masih didominasi citra
puisi-puisi lama. Naskah-naskah Drama Klasik yang dikarangnya (dipentaskan dan
disutradarainya), menggaungkan gerak pertarungan perlawanan menghadapi keresahan
persoalan pula. Sebuah patung semen “Chairil Anwar” setengah badan (karyanya di
taman halaman Saidat Dahlan) tentulah menggambarkan pula kadar keterombang
ambingannya dalam keresahan dan kebimbangan itu. Seniman memang sering berupaya
merangkul etika pembebasan, dan menghendaki kebebasan yang luas untuk
melepaskan kreatifitas idealitas dalam karya-karyanya.
Sajak
Temul yang tampak menapak tegak, mencari bentuk gaya pengucapannya (tanpa lupa
menyuarakan keresahannya), terlihat bermula pada puisinya “Kuliah”. Secara
sederhana dicobanya menyaingi asosiasi imaji kata “kuliah”; menghubungkannya dengan “kuli”, yang menyiratkan
keresahan lewat desah “ah” yang mempertanyakan apakah kuliah merupakan jalan
berliku untuk menjadi kuli.
kuliah
aku
terdiam
mata
terpejam
lemah
ter-engah
di bawah se
batang
akasia
ku
kuliah
kuliah
kuliah
kuli
ah
kuli
ah
kuli
ah
kuli
ah
kuli
kuli
a
a
a
h
buku
itu lembab
terjerembab
-----
pbr. 071978
Sajak “laut” (dalam Blak-Blak Duka 1983) juga
berisi kata itu :
laut
dari
laut
masih saja
terdengar
desah
ku
kuli
kuli, ah!
akan sampaikah
kita
ke seberang !?!
------
Sejumlah sajaknya
dalam Syair Orang-Orang Pinggiran, antologinya bersama Dasri Al Mubary (yang
beberapa diantaranya diulang muat pada Menggantang Warta Nasib dan Jalan
Bersama), di dominan laut keresahan: laut bersama sungai, arus, surut, pasang,
riak, ombak, gelombang, buih, karang, bono, pantai, Lumpur, puaka, beliung, angin, banjir, pencalang, lancang, kajang, dan camar-terbang, juga air
dari perigi dan telaga yang ditimbanya.
erosi
hari
yang
membagi bagi waktu
mencencang petangnya
kuncup
yang membagi bagi
kembang
mencencang warnanya
hati
yang membagi bagi duka
mencencang lukanya
sungai sungai
mencampakkan airnya kelaut
membuang arusnya
orang orang
mencampakkan diri dalam duka
membuang hatinya
laut memuntahkan ombak
menggoncang riaknya
menimbun duka buihnya
dalam riak
dalam diri kita
sungai
sungai mengalir deras
menimbun tasik
melimpahkan
arusnya
dalam hati kita
puaka
menghadang
tali tali
arus merentang
memaki dirinya
-------
(SOP; 3
(SOP; 3
beliung
....................................
...................................
dirambahnya rimba
digalaunya riau
....................................
...................................
dirambahnya rimba
digalaunya riau
dengan putingnya yang tajam
………………………
………………………
beliung mengapak menyepak lagi
berbagi duka di riau riuh yang sepi
hari ini
(SOG; 5)
liang
di
liang liang batu beliang
pasang berlari
membasuh batu batu
lumpur Lumpur mengendapkan duka
ketebing tebing
seorang nelayan tua
mendaki gunung tak berpuncak
menatap lautnya sendiri
sepi
……………………..
................................
inikah negeri
digasak
riak sepanjang hari
air mengalir meuntahkanarus
hujan merobohkan pematang
limbah limbah
meludahkan busuknya
kekampung kampung
banjir
datang
bono menghantam
sungai sungai mencari
cari
tebingnya sendiri sendiri
riau digalau
banjir tak berkesudahan
orang
orang menumpahkan labu labu air
menghempaskan
gelas dan kelalang
anak anak bermain
gelombang
diliang liang batu beliang
mereka
kehilangan jejaknya .
(SOP; 9)
lencana
………………….
………………….
keris
dijadikan tiang pencalang
ujungnya yang tajam mencucuk
lancang
serindit tertunggit
serindit tertunggit
diempat pusaran gelombang
lancang tak berkemudi
kemana arah
kemana kiblatnya
…………………………
…………………………
(SOP; 12)
Keresahan
Temul Amsal bagaikan gelombang yang menerjang, kadang-kadang tenang,
kadang-kadang bimbang, kadang-kadang menerawang, kemudian bangkit berjuang. Dia
merambah resah, mencari-cari tergagau, mencari dirinya, menemukan negerinya
dengan nyeri, berusaha kepada-Nya mengadu sampai jemu, sampai jenuh, ditemuinya
keserakahan:
serakah
..............................
..............................
..............................
..............................
dengan serakah
ditimbanya lagi
ditimbanya
hari hari
yang
membakar
basahan
kita
-------
-------
Ulasan
ini tidak memberikan uraian tentang kreativitas Temul Amsal dari keseluruhan
aktivitas kesenimanannya; drama klasik, lukisan, relief dan dekorasi, atau
cerpen-cerpennya.Yang saya tuturkan hanya tentang puisi-puisinya
saja. Saya berusaha mengulas dengan
sikap yang ‘ kritikus yang tulus’,
melepaskan sedapat mungkin kesan subjektivitas pribadi –-- berupaya menerka
karya-karya itu dengan takaran kepuisian dengan segenap unsur-unsurnya.
Kekuatan
seorang penyair banyak ditentukan oleh ucapan dan daya gaya pengucapannya, baik
personal maupun konvesional atau tradisional. Kekuatan yang mencuat dari gaya
pengucapan itu terlihat dari imaji-imaji, symbol dan metafor, atau idiom-idiom
kekhasannya, disertai ritmenya. Dua segi kekuatan kata, yaitu sugesti musical,
tak layak pula diabaikan. Unsure-unsur bangunan sajak yang cukup sederhana,
tidak berarti melenturkan cara memahaminya.
Duksi,
imaji,symbol dan metafor, idiom ritme pada sajak-sajak Temul Amsal telah
dipunyainya. Kekhasan pengucapan seperti
mandi bertimba darah, digasak rusak, bercermin gelombang, dan keris dijadikan tiang pencalang,
serta dik dikau,. Misalnya
pemakaian kata ulang tanpa tanda penghubung (-) terasa memberi konotasi
sugestif arti lebih pati, perhatikanlah misalnya , sungai sungai, tidak
hanya bermakna sungai, tapi pula sungai dari sungai, membagi bagi berkonotasi
membagi untuk selain memberi rata, dan nama nama bersugesti nama dari nama-nama, begitu seterusnya pada
bentukan yang sama. Tipografi yang berserak-serak juga menampakkan gerak lasak
keresahan dan kegelisahan, begitu pula dengan peloncatan baris (enjambement)
yang mampu memberi eleniasi ketergagapan, atau rengkuhan gerak yang regang.
Namun keunikan dan kebaruan gaya pengucapan yang berada antara nuansa-nuansa
dan pola mantera (bukan narasi dan tidak pula mantera) menjadi sisi tersendiri
kelebihan Temul Amsal.
-------------
Tidak ada komentar:
Posting Komentar