Jumat, 24 Februari 2012

TEMUL AMSAL SANG SENIMAN







Riau Pos, Minggu, 1 Agustus 1993

Catatan Resah,
Kegelisahan Sang Seniman-Sastrawan
Oleh Syafruddin Saleh Sai Gergaji



TEMUL AMSAL (singkatan dari Tengku Mulya Amril Aman Saleh) Lahir di (desa bekas kerajaan) Pelalawan, 31 Juli 1954. putra sulung Tengku Aman Saleh dan Syarifah Hidayatul Akmal yang berdarah Bangsawan Melayu berbias Arab Assaggaf. Nama yang dipakainya, katanya, untuk menghilangkan kesan feodal dan kebangsawanannya----seperti juga Tenas Efendy dan Temasdoelhak.

Konon telah bermain drama dan menyukai hal-hal sastera sejak masih kanak-kanak.menulis naskah drama pentas dan naskah radio (yang pernah disiarkan RRI Pekanbaru, RRI Stasiun Pusat Jakarta, dan oleh Radio Malaysia), scenario film dokumenter objek wisata daerah riau (untuk Diparda Tingkat I Riau), sajak, cerita-cerita pendek, artikel sastera, melukis dan membuat relief.

Semasa mahasiswa (di Progran Studi Bahasa dan Sastera Indonesia FKIP Universitas Riau) dipercayai menjadi asisten dosen untuk mata kuliah Apresiasi Sastera, membantu kegiatan Penerangan Departemen Penerangan RI di Riau, dan mendirikan Grup Teater 'Gema', juga bergabung dengan Grup Teater Bidang Kesenian Depdikbud Kampar dan Sanggar Seni Budaya Pemuda Bangkinang (1975). Bila malam bertambah kelam, naskahnya yang menjadi pemenang III pada sayembara menulis naskah Sosio Drama DPD KNPI Riau. Pemenang I Penulisan Sajak antar Mahasiswa Riau (1978)Grup Teater yang disutradarainya pernah menempati urutan ke II Festival Teater Remaja se Riau (1982), dengan judul naskah Kodai Putra Sakai karya M.Rasul.

Naskah drama yang prnah dihasilkannya antara lain Keris Sebagai Saksi (1980),Gerhana di Indrapura (1981), Panglima Rantin Tunggal (1983), Ketobong (1984), Lanun Pulau Batu (1985), Ketuban (1985-1991), Sajak-sajaknya dimuat dalam Catatan Resah (1980), Antologi Puisi Pekanbaru 80, Empat Berseru (bersamaDasri, Al azhar dan Syafruddin Saleh Sai Gergaji 1982),  Blak-Blak Duka (Antologi bersama 1983),Lena (a.b, 1986), Syair Orang Orang Pinggiran (bersama Dasri al-Mubary, 1991), Menggantang Warta Nasib (app,1992), dan Jalan Bersama (a.b,1992),Menulis Buku Belajar Membaca Sajak (bersama Dra. Saidat Dahlan,1979). Kini bekerja sebagai pegawai negeri sipil di Kanwil Deppen Provinsi Riau. Kuliah hanya hingga Sarjana Muda. Memiliki seorang Putera Said Rega Syahringga dari isterinya Norazizah, sarjana alumnus Fisipol Unri.

Catatan panjang biodata Temul amsal menggambarkan selasar resah kadar kegelisahan kesenimanan (dan kesasteraan) pada perjalanannya menempuh jembatan titian lebuh-tabuh sastera dan lukis. Bermula dari wawasan estetika klasik di panggung sandiwara, mengembara dengan sajak-sajak, cerita pendek, dan skenario film, mencecahkan kuas ke kanvas, hingga kepada lukisan tiga demensi relief, Temul bergumul menuju kekuatan kreatifitas dan gurat catnya, dengan resah buncah darah kegelisahan sang seniman-sastrawan.

Desah keresahan bagi siapapun mestilah diluah salurkan, yang memerlukan cara dan sarana sebagai wadah yang dapat menampungnya. Membiarkannya tersungkup, di dalam jiwa yang tertutup pintunya, sama saja dengan membiarkan katup yang menunggu masanya meletup. Penguasa yang membiarkan warga-warganya terjerat persoalan-persoalan kehidupan, dan tersekat pula mulutnya  untuk bicara terbuka sewajarnya, adalah penguasa yang sedang membangun istan dan singasana kesengsaraan, yang membiarkan bara menyala di dalam sekam yang pelan-pelan marak meremuk redamkan, yang memercik api ke padang ilalang yang akan segera membakar pasar kehidupan dengan garang.

 
                     Temul Amsal  Baca Sajak di Taman Ismail Marzuki Jakarta (2006)




                                                   Seniman –Sasterawan dan Kegelisahan

Sang seniman – sasterawan perekam dan pencatat peristiwa kehidupan yang lebih tajam, daripada wartawan ataupun sejarawan. Fiksionalitas yang mereka sajikan bukan sekedar berisi fiksi basi dan hambar. Karya mereka ditaja dari realitas yang ada disertai idealita peristiwa, yang “berbicara” lewat lukisan, gerak, ucapan, dan penuturan yang menghambur ke kedalaman sumur-kehidupan hingga ke dasar samudra fakta dan rahasianya, mengangkasa ke semesta-raya jiwanya (kehidupan itu). Hijrahiyah atau pemindahan suasana kehidupan ke dalam wadah karya-karya mereka itu, berbancuh utuh meresapi nilai-nilai filsafi, menghayati eksistensi hakiki persoalan – persoalan kehidupan itu. Rekaan karya-karya mereka bukan lawan dari kenyataan, tetapi juga memberi informasi pemikiran mengenai memahami kenyataan dan permasalahan – permasalahan pada wilayah kehidupan; sedih – gembira, kegelisahan, harapan, dan sebagainya. Sedangkan wartawan dan sejarawan memberikan dan mencatat peristiwa apa adanya tanpa tambahan rambahan luaran dan dalaman.

Menikmati karya seni – sastrawan – budaya, berarti menghayati dan melibatkan diri ke dalam kehidupan yang menyeluruh. Hal inilah yang memudahkan kita mengerti mengapa para raja memelihara para pujangga istana, dahulu kala. Melecehkan kehadiran dan eksistensi seniman – sasterawan, sama artinya dengan melecehkan kehidupan. Subagio Sastrawardoyo menyatakan dengan amat tepat tentang panyair, misalnya, yang dimuat di dalam Horison wajah baru (no.7/XXVII, Juli 1993:57).”….’ingat, tanpa mata penyair menjadi buta’….”mata mereka tak boleh dilecehkan, (al-Quran, sebagai “karya mahasastra” dari Allah SWT), mengungkapkan sejarah dan pristiwa kehidupan, sebagai pelajaran dan juga memberikan gambaran kausalitas, dilengkapi jalan keluar sebagai arah yang mesti ditempuh agar kegaduhan tidak menggumuli dan melumuri kehidupan! Tindakan yang berdampak cepat atau timerespons singkat dijelaskan global, sedang yang sebaliknya terperinci !).

Masyarakat marginal merupakan komunal yang selalu bergumal dengan sentral persoalan yang bukan hanya dipecahkan oleh mereka saja, tapi pun oleh tolehan menyeluruh. Orientasi masyarakat yang kian kuat, tingkat konsumtif yang relatif tinggi, dan status atau gengsi manusia (telah bergeser) diukur berdasarkan kekayaan materi, serta globalisasi modernisasi, yang dampaknya kontak sontak mengoyak-ngoyak tonggak bijak kehidupan, menuntut penanganan kejiwaan. Peran seniman-sasterawan (budayawan) tidak dapat diabaikan, karena mereka bukan hanya menuturkan kesan perasaan pribadi,  tapi pula menyalurkan pengamatannya terhadap kehidupan dengan akurat, aspirasi, keresahan, keberhasilan, kekurangan  dan kegagalan.

Keresahan mereka bukanlah kegelisahan semasa, namun alun yang berpulun ke segala arah wilayah, merekam sejarah dan mencatatnya sebagai koreksi fiksionalitas idealistis ke arah idealnya sasaran kehidupan. Karya seni merupakan tanggapan seorang seniman terhadap dunia sekelilingnya (Arief Budiman, 1976:7).

Catatan Resah, Orang-Orang Pinggiran, karya-karya Temul Amsal kaya dengan nuansa keresahan yang penuh membuncah.

Sajak-sajak awalnya yang terangkum dalam Catatan Resah (1980), kental dengan rutuk ratap; walau pengungkapannya (pada waktu itu)  belum dengan pintalan yang kuat dan masih didominasi citra puisi-puisi lama. Naskah-naskah Drama Klasik yang dikarangnya (dipentaskan dan disutradarainya), menggaungkan gerak pertarungan perlawanan menghadapi keresahan persoalan pula. Sebuah patung semen “Chairil Anwar” setengah badan (karyanya di taman halaman Saidat Dahlan) tentulah menggambarkan pula kadar keterombang ambingannya dalam keresahan dan kebimbangan itu. Seniman memang sering berupaya merangkul etika pembebasan, dan menghendaki kebebasan yang luas untuk melepaskan kreatifitas idealitas dalam karya-karyanya.

Sajak Temul yang tampak menapak tegak, mencari bentuk gaya pengucapannya (tanpa lupa menyuarakan keresahannya), terlihat bermula pada puisinya “Kuliah”. Secara sederhana dicobanya menyaingi asosiasi imaji kata  “kuliah”; menghubungkannya dengan “kuli”, yang menyiratkan keresahan lewat desah “ah” yang mempertanyakan apakah kuliah merupakan jalan berliku untuk menjadi kuli.



kuliah

aku
terdiam
mata terpejam
lemah ter-engah
 di bawah  se batang
akasia
ku
kuliah
kuliah
kuliah
kuli
ah
kuli
ah
kuli
ah
kuli
ah
kuli
kuli
a
a
a
h
buku itu lembab
terjerembab
                     -----                   
                                                                       pbr. 071978



                                Sajak “laut” (dalam Blak-Blak Duka 1983) juga berisi kata itu :




laut

                                     dari                                         
laut
  masih saja
                   terdengar
              desah
ku
 kuli
        kuli, ah!

 akan sampaikah
 kita
                   ke seberang !?!
     ------


Sejumlah sajaknya dalam Syair Orang-Orang Pinggiran, antologinya bersama Dasri Al Mubary (yang beberapa diantaranya diulang muat pada Menggantang Warta Nasib dan Jalan Bersama), di dominan laut keresahan: laut bersama sungai, arus, surut, pasang, riak, ombak, gelombang, buih, karang, bono, pantai, Lumpur, puaka,  beliung, angin, banjir, pencalang,  lancang, kajang, dan camar-terbang, juga air dari perigi dan telaga yang ditimbanya.

                                                        erosi

                                 hari
                                 yang membagi bagi waktu 
                                 mencencang petangnya
                               kuncup
                               yang membagi bagi kembang
                               mencencang warnanya

                                            hati
                                            yang membagi bagi duka
                                            mencencang lukanya

                                 sungai  sungai  mencampakkan airnya kelaut
                                                                      membuang arusnya
                                  orang orang mencampakkan diri dalam duka
                                                                       membuang hatinya

                                   laut memuntahkan ombak
                                   menggoncang riaknya
                                   menimbun duka buihnya
                                                       dalam riak

                                   dalam diri kita
                                                       sungai sungai mengalir deras
                                                       menimbun tasik
                                                       melimpahkan arusnya

                                    dalam hati kita
                                                       puaka menghadang
                                                       tali tali arus merentang
                                                       memaki dirinya
                                                        -------     
                                                                                   (SOP; 3
                                
                                                      beliung 

                                                  ....................................
                                                  ...................................
                                                  dirambahnya rimba
                                                  digalaunya riau
    dengan putingnya yang tajam
………………………
………………………
                                                              beliung mengapak menyepak lagi
                                                              berbagi duka di riau riuh yang sepi
                                                              hari ini

                                                                                                   (SOG; 5)



          liang

di liang liang batu beliang
                 pasang berlari 
                           membasuh batu batu

                   lumpur Lumpur mengendapkan duka
                   ketebing tebing 
             seorang  nelayan tua
                             mendaki gunung tak berpuncak
                  menatap lautnya sendiri
                sepi
……………………..
................................
                                                                inikah negeri
                                                                digasak riak sepanjang hari
                                                                          air mengalir meuntahkanarus
                                                                          hujan merobohkan pematang
                                                                          limbah limbah meludahkan busuknya
                                                                                                kekampung kampung
                                                                 banjir datang
                                                                 bono menghantam
                                                                           sungai sungai mencari cari
                                                                           tebingnya sendiri sendiri
                                                                  riau digalau banjir tak berkesudahan
                                                                  orang orang menumpahkan labu labu air
                                                                  menghempaskan gelas dan kelalang
                                                                  anak anak bermain gelombang
                                                                  diliang liang batu beliang
                                                                            mereka kehilangan jejaknya .

                                                           (SOP; 9)

          lencana

………………….
………………….
keris dijadikan tiang pencalang
              ujungnya yang tajam mencucuk lancang
serindit tertunggit
                diempat pusaran gelombang


                      lancang tak berkemudi
        kemana arah
               kemana kiblatnya
…………………………
…………………………
                                                   (SOP; 12)





            Keresahan Temul Amsal bagaikan gelombang yang menerjang, kadang-kadang tenang, kadang-kadang bimbang, kadang-kadang menerawang, kemudian bangkit berjuang. Dia merambah resah, mencari-cari tergagau, mencari dirinya, menemukan negerinya dengan nyeri, berusaha kepada-Nya mengadu sampai jemu, sampai jenuh, ditemuinya keserakahan:

serakah

..............................
..............................

  dengan serakah
 ditimbanya lagi
             ditimbanya
          hari hari
     yang
               membakar
            basahan
      kita

-------

            Ulasan ini tidak memberikan uraian tentang kreativitas Temul Amsal dari keseluruhan aktivitas kesenimanannya; drama klasik, lukisan, relief dan dekorasi, atau cerpen-cerpennya.Yang saya tuturkan hanya tentang puisi-puisinya saja. Saya berusaha  mengulas dengan sikap yang ‘ kritikus yang  tulus’, melepaskan sedapat mungkin kesan subjektivitas pribadi –-- berupaya menerka karya-karya itu dengan takaran kepuisian dengan segenap unsur-unsurnya.


            Kekuatan seorang penyair banyak ditentukan oleh ucapan dan daya gaya pengucapannya, baik personal maupun konvesional atau tradisional. Kekuatan yang mencuat dari gaya pengucapan itu terlihat dari imaji-imaji, symbol dan metafor, atau idiom-idiom kekhasannya, disertai ritmenya. Dua segi kekuatan kata, yaitu sugesti musical, tak layak pula diabaikan. Unsure-unsur bangunan sajak yang cukup sederhana, tidak berarti melenturkan cara memahaminya.

            Duksi, imaji,symbol dan metafor, idiom ritme pada sajak-sajak Temul Amsal telah dipunyainya. Kekhasan pengucapan seperti  mandi bertimba darah, digasak rusak, bercermin gelombang, dan  keris dijadikan tiang pencalang, serta  dik dikau,. Misalnya pemakaian kata ulang tanpa tanda penghubung (-) terasa memberi konotasi sugestif arti lebih pati, perhatikanlah misalnya , sungai sungai, tidak hanya bermakna sungai, tapi pula sungai dari sungai, membagi bagi berkonotasi membagi untuk selain memberi rata, dan nama nama bersugesti  nama dari nama-nama, begitu seterusnya pada bentukan yang sama. Tipografi yang berserak-serak juga menampakkan gerak lasak keresahan dan kegelisahan, begitu pula dengan peloncatan baris (enjambement) yang mampu memberi eleniasi ketergagapan, atau rengkuhan gerak yang regang. Namun keunikan dan kebaruan gaya pengucapan yang berada antara nuansa-nuansa dan pola mantera (bukan narasi dan tidak pula mantera) menjadi sisi tersendiri kelebihan Temul Amsal.
-------------


                                                   -- temul amsal  bersama isteri tercinta --


Tidak ada komentar: